TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah akademikus dari beberapa perguruan tinggi di Indonesia menyatakan menolak eksekusi mati terhadap terpidana narkotik. "Ada yang keliru dengan kebijakan hukuman mati ini," kata perwakilan kelompok akademikus itu, Robertus Robert, di Jakarta, Sabtu, 7 Maret 2015.
Menurut Robertus, pemerintahan Presiden Joko Widodo terkesan terburu-buru menerapkan kebijakan tegas berupa hukuman mati terhadap terpidana narkotik. "Kebijakan ini tak mempertimbangkan hak hidup seseorang dan hidup kerabat terpidana," ucap Robertus, sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta.
Ia juga mengatakan Presiden Jokowi tak serius mempelajari permohonan grasi para terpidana mati kasus narkotik. "Terburu-buru tanpa mempertimbangkan kasus per kasus secara teliti."
Menurut dia, hukuman mati sudah ditinggalkan hampir semua negara. Negara yang masih menerapkan hukuman ini dianggap hanya ingin unjuk gigi. "Tak bisa dimungkiri bahwa ada yang ingin dipamerkan oleh negara itu," ucapnya.
Pemerintah berencana kembali menjalankan eksekusi mati terhadap para terpidana kasus narkotik, yang rata-rata merupakan warga negara asing. Langkah ini dikecam banyak pihak, terutama pemerintah asal negara para terpidana. Namun Indonesia berkukuh eksekusi tetap akan dijalankan.
Selain Robertus, akademikus yang tergabung dalam aksi penolakan eksekusi mati ini antara lain psikolog Universitas Indonesia, Bagus Takwin; sosiolog UI, Kamanto Sunarto; dan pengajar Universitas Paramadina, Atnike Nova Sigiro.
PRIHANDOKO