TEMPO.CO, Jakarta - Pengamat hukum internasional dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menyarankan Kejaksaan Agung untuk mempercepat pelaksanaan eksekusi mati gelombang kedua. Tujuannya, agar tidak membebani Presiden Joko Widodo yang juga tengah menangani banyak masalah.
"Semakin lama Kejaksaan menunda, semakin banyak tekanan dari luar negeri yang dihadapi Indonesia," ujar Hikmahanto dalam siaran pers yang diterima Tempo, Ahad, 22 Februari 2015.
Sebelumnya, Kejaksaan Agung menunda eksekusi mati gelombang kedua karena alasan teknis. Beberapa di antaranya adalah adanya terpidana yang terindikasi sakit jiwa dan Lapas Nusakambangan yang belum siap menerima terpidana mati dalam jumlah besar.
Perkiraannya, ada sepuluh terpidana mati yang akan dieksekusi pada gelombang kedua. Kesepuluh terpidana itu termasuk terpidana mati asal Australia dan anggota sindikat Bali Nine, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang tengah diupayakan penyelamatannya.
Menurut Hikmahanto, sudah terlalu banyak manuver politik dari negara-negara tetangga begitu eksekusi mati gelombang kedua ditunda. Selain adanya tekanan dan ancaman dari pemerintah Australia, ada juga penolakan terhadap duta besar Indonesia oleh Presiden Brasil Dilma Rousseff.
"Harapannya, kalau eksekusi dilakukan, tak akan ada lagi manuver dari negara asing. Indonesia perlu menegaskan tidak seharusnya para gembong narkoba mendapat perlindungan dari negaranya," ujar Hikmahanto.
Hikmahanto menambahkan, Kejaksaan Agung tak perlu takut mempercepat eksekusi karena dukungan pun ada dari masyarakat. Salah satu contoh yang tengah ramai adalah kampanye KoinUntukAustralia. "Terlebih lagi Presiden Jokowi dalam setiap kesempatan tidak pernah terlihat akan merubah kebijakannya untuk melaksanakan hukuman mati," ujarnya mengakhiri.
ISTMAN M.P.