Sosiolog Fisipol UGM, Arie Sudjito juga menilai kasus penggerudukan massa organisasi kemasyarakatan ke sejumlah lokasi pemutaran film "Senyap" di Yogyakarta, termasuk di kampusnya, sudah keterlaluan. Dia berpendapat, kasus pelanggaran hak-hak warga negara, yang terus berulang seperti ini, tidak bisa lagi ditoleransi. "Melanggar HAM, Demokrasi dan bukti negara masih lemah serta aparat kalah dengan milisi sipil," kata Arie.
Saat ini, bersama sejumlah rekannya sesama akademikus, Arie sedang mempersiapkan nota protes untuk mendesak Presiden Jokowi mengambil sikap tegas. Dia berpendapat kasus pembubaran pemutaran film "Senyap" di berbagai daerah layak menjadi masalah nasional dan mengundang perhatian presiden. "Ini momentum tepat agar Jokowi melunasi janjinya, yakni membuat negara hadir di kehidupan publik," kata Arie.
Peneliti Institute Research of Empowerment (IRE) tersebut menilai upaya menangani ulah kelompok-kelompok intoleran bukan masalah sulit bagi pemerintahan Jokowi. "Apalagi, ini amanat konstitusi," kata dia.
Nota protes itu, menurut Arie, juga akan dikirim ke Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Polda DIY perlu bertanggungjawab atas terjadinya pembubaran acara pemutaran film "Senyap" di kampus Fisipol UGM, ISI Yogyakarta, AJI Yogyakarta dan tempat lain. "Kami ingin mengajak semua elemen masyarakat sipil ikut bergerak," kata dia.
Adapun pakar politik Fisipol UGM, Ari Dwipayana mengkritik sikap polisi dan Satuan Keamanan Kampus (SKK) UGM yang justru membiarkan massa menyerbu lokasi acara mahasiswa dan malah meminta segera ditutup sebelum waktunya. "Itu ancaman serius bagi demokrasi," kata Ari.
Polisi seharusnya bersikap tegas dengan melindungi hak warga negara agar bebas berkumpul dan berpendapat. Pembiaran polisi pada massa yang mengancam dan membubarkan forum akademik merupakan kesalahan fatal. "Negara absen untuk menjaga hak warga negara, apalagi Gubernur (DIY), Bupati dan Wali Kota diam saja," kata Ari.
Rangkaian pembubaran acara pemutaran film "Senyap" di UGM dan tempat-tempat lain selama dua hari belakangan merupakan preseden terburuk bagi status Yogyakarta sebagai Kota Pelajar. Kota Yogyakarta, menurut Ari, sejak lama merupakan kawasan yang selalu kaya dengan gagasan-gagasan mengenai kemerdekaan berfikir dan berpendapat.
Ari meyakini apabila tidak ada upaya tegas dari pemerintah untuk menghentikan aksi seperti ini, kasus serupa akan terus bermunculan di masa depan. Dia mendesak Kapolri Sutarman segera mengevaluasi kinerja anak buahnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. "Kasus ini tidak bisa dianggap masalah lokal DIY."
Rentetan kasus seperti ini juga merupakan bukti reformasi kepolisian masih belum tuntas. Menurut Ari, kepolisian perlu segera mengubah haluan dan mengambil sikap tegas pada setiap kelompok yang memakai cara kekerasan untuk memaksakan pendapat. "Jokowi harus mendesak Kapolri segera mereformasi institusinya," kata Ari.