TEMPO.CO, Jakarta - Dua acara diskusi pada hari yang sama di tempat yang terpisah sama-sama membahas soal Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Acara pertama diselenggarakan Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta pada Kamis, 23 Oktober 2014, dengan mengundang pakar gambut, aktivis organisasi lingkungan hidup, dan jurnalis.
Acara kedua berupa focus group discussion yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan di sebuah hotel di Bogor. Peserta yang diundang adalah pejabat Kementerian Kehutanan, Pertanian, KLH, UKP4, LIPI, Badan Pengelola REDD+, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia, Himpunan Gambut Indonesia, Himpunan Agronomi Indonesia, serta Himpunan Ilmu Tanah Indonesia.
Peraturan yang ditandatangani mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 September lalu ini memang menjadi kado selamat datang bagi pemerintah Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Banyak kepentingan dari kementerian, lembaga, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat sehingga aturan yang mulai dibahas sejak 2006 itu baru selesai bulan lalu.
“Kami khawatir, jika peraturan ini ditunda-tunda lagi, lahan gambut yang tersisa bakal makin habis,” kata Deputi KLH Bidang Pengendalian Kerusakan Lingkungan dan Perubahan Iklim Arief Yuwono yang memimpin diskusi. Menurut dia, aturan anyar ini menjadi koridor menyelesaikan masalah yang terjadi di lapangan. (Baca: Hujan Turun di Palembang, Asap Makin Menghantui)
Arief mengakui adanya tarik-menarik kepentingan sehingga pengesahan peraturan soal gambut memakan waktu satu windu. Meskipun sudah mengakomodasi banyak pihak, sejumlah kelompok mengkritiknya. Aktivis lingkungan menilai aturan ini terlalu lentur dan bakal memperparah kerusakan gambut.
Muhammad Teguh Surya, pengkampanye politik hutan Greenpeace Indonesia, menyayangkan sikap pemerintah yang masih mempercayai perusahaan melakukan budi daya di lahan gambut, seperti tertuang dalam aturan anyar itu. Dia merujuk pada audit kepatuhan yang dilakukan UKP4 terhadap 17 perusahaan besar di Riau yang di area konsesinya terdapat titik api (hotspot) akibat kebakaran lahan dan hutan pada Februari-April lalu.
Dari hasil audit itu, 17 perusahaan perkebunan sawit dan akasia itu beroperasi di lahan gambut. Sejumlah pimpinan perusahaan ini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian dan KLH. “Jadi PP Nomor 71/2014 itu ibarat kita menaruh leher di ujung tombak bagi kepentingan perusahaan,” kata Teguh. Dia khawatir kita menggali kubur terhadap bencana yang bakal terjadi di kemudian hari saat semua lahan gambut hancur lebur. Aktivis Walhi dan Wetlands menyuarakan hal senada dengan Greenpeace. (Baca: Pemadaman Gagal, Asap di Pekanbaru Makin Pekat)
Penolakan terhadap PP Nomor 71/2014 itu juga datang dari kalangan pengusaha. “Akan terjadi kerugian terhadap investasi yang sudah ada dan potensi kehilangan kesempatan di waktu yang akan datang,” ujar Joko Supriyono, Sekretaris Jenderal Gapki, kepada pers. Indonesia, dia mengklaim, bakal merugi dari investasi sawit di gambut yang mencapai Rp 136 triliun, devisa negara US$ 6,8 miliar per tahun, dan pemutusan hubungan kerja sebanyak 340 ribu tenaga kerja.
Total jenderal, kata Joko, potensi kerugian dari pemberlakuan aturan tersebut mencapai Rp 240 triliun. Angka ini berasal dari potensi kehilangan investasi kebun sawit yang ada di gambut seluas 1,7 juta hektare (ha). Dari data, luas lahan gambut di Indonesia sekitar 14 juta hektare. Lahan untuk kegiatan budi daya 6 juta ha dan yang sudah diberikan izin 1,7 juta ha.
Protes serupa disampaikan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Nana Suparna, salah seorang ketua asosiasi itu, menjelaskan industri hilir pengguna bahan baku kayu hutan tanaman industri (HTI) terancam kolaps. Aturan ini berdampak buruk bagi perekonomian, sosial, dan lingkungan. Potensi kerugian yang ditimbulkan, kata dia, sangat besar mencapai Rp 103 triliun per daur tanam.
Para pengusaha keberatan atas ketentuan pasal tentang penetapan kawasan lindung seluas 30 persen dari seluruh kesatuan hidrologis gambut. Selain itu, aturan fungsi lindung jika memiliki ketebalan lebih dari 3 meter. Lalu, ketentuan yang menyatakan bahwa muka air gambut ditetapkan minimal 40 sentimeter atau bakal dinyatakan rusak. “Padahal akar pohon bisa tumbuh lebih dari 100 cm,” kata Nana kepada media.
Memang, dalam draf peraturan hingga awal Maret 2014, dinyatakan bahwa kriteria baku kerusakan jika muka air di drainase lebih dari 1 meter di bawah permukaan gambut. Pada akhir Maret 2014, Kepala UKP4 mengirim surat yang meminta draf itu dikaji kembali karena sejumlah pakar berpendapat bahwa kriteria itu berpotensi terjadi kebakaran.
Kementerian Lingkungan Hidup kemudian mengadakan dua kali pertemuan dengan beberapa pakar gambut, yaitu Supiandi, Azwar Maas, Komarsa, dan Atang Sutandi. Akhirnya disepakati kriteria baku kerusakan adalah (1) muka air di drainase lebih dari 0,4 meter di bawah permukaan gambut; (2) tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kuarsa di bawah lapisan gambut.
“Angka 0,4 meter dipilih untuk menjaga kelembapan lahan gambut,” kata Azwar Maas, pakar gambut dari UGM. Menurut dia, teknologi ekohidro tidak cocok di lahan gambut kepulauan seperti yang ada di Provinsi Riau. “Bisa tenggelam itu pulau.”
Azwar menjelaskan peraturan pemerintah ini menjadi pedoman pengelolaan lahan gambut yang jika tidak ditepati bakal mengancam kelestariannya. Sebenarnya sudah ada ketentuan umum tentang gambut, tapi tetap saja pemerintah memberi izin. Pengusaha, kata dia, kalau ada kesempatan pasti diambil dengan segala cara, termasuk menggunakan uang. Dia meminta semua pihak mengawasi pemberi izin. Selama ini Kementerian Kehutanan dan pemerintah daerah yang memiliki wewenang memberi izin.
Arief Yuwono menjelaskan kritik dan masukan dari aktivis LSM bakal menjadi bahan penyusunan peraturan menteri atau petunjuk teknis. Menurut dia, pihaknya mendasarkan pada pertimbangan ilmiah ketika menyusun draf. “Peraturan pemerintah ini bukan obat mujarab, tapi jadi pedoman untuk melangkah lebih lanjut.”
UNTUNG WIDYANTO
Terpopuler:
Daftar Lengkap Menteri Kabinet Kerja Jokowi
Pengamat Sesalkan Jokowi Pilih Ryamizard
Tujuh Pertanyaan Ibas kepada Jokowi
Pengepul Ikan Ini Jadi Menteri Kelautan