TEMPO.CO, Surabaya - Ketua Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga (ITD UA) Prof Dr dr. Nasronudin Sp.PD K-PTI FINASIM mengatakan kemungkinan penularan ebola ke Indonesia relatif besar. “Sekarang transportasi manusia terbuka sangat lebar, mobilitas penduduk tinggi. Termasuk antara Afrika dan Indonesia,” ujarnya kepada Tempo, Rabu, 6 Agustus 2014.
Menurut Nasron, hubungan perdagangan antara negara-negara Afrika dan Indonesia cukup besar. “Banyak WNI yang bekerja dan berdagang di sana, sehingga potensi-potensi itu ada. Tidak boleh lengah,” tuturnya.
Ebola hemorrhagic fever, kata Nasron, merupakan penyakit infeksi tropis yang berat. Cara penularannya melalui kontak fisik langsung antarmanusia ataupun cairan penderita. Langkah isolasi harus segera dilakukan jika seseorang terpapar. “Angka kematiannya pun tinggi. Dari 100 kasus, 90 persen penderita ebola meninggal dunia,” ujarnya. (Baca: Malaysia Tingkatkan Waspada Hadapi Ebola)
Sebagai perbandingan, angka kematian penderita demam berdarah dengue (DBD) hanya 1 persen dari pasien yang dirawat. “Perlu diingat juga, masa inkubasi virus antara 7-10 hari. Jadi masih ada rentang waktu yang memungkinkan penularan, walaupun suspect ebola sudah berpindah-pindah penerbangan,” katanya.
Artinya, meski tak ada penerbangan komersial langsung (direct flight) dari negara-negara Afrika yang terjangkit ebola, Indonesia tetap harus waspada.
Ebola berbeda dengan Middle East respiratory syndrome (MERS). Penyakit yang disebabkan oleh virus CoV atau coronavirus ini ditularkan melalui medium hewan, seperti unta. (Baca: WHO: Ebola Menyebar Terlalu Cepat)
“Walaupun jutaan WNI pergi umrah dan haji ke Timur Tengah, MERS tidak seberbahaya ebola. Peredaran ebola antarmanusia, jadi lebih cepat menular,” ucapnya.
Untuk itu, berbagai upaya pencegahan untuk mengantisipasi penularan perlu dilakukan. Misalnya, edukasi tentang penyakit dan cara penularan ebola serta penyiapan fasilitas kesehatan, termasuk alat deteksi suhu tubuh di bandara.
“Pemerintah tidak boleh sekadar memberikan berita seolah-olah kemungkinan peredaran ebola itu kecil, sehingga masyarakat tidak panik. Masyarakat wajib diedukasi dan dilindungi,” ucapnya. (Baca: Ebola Renggut 729 Nyawa di Afrika)
ITD, Nasron melanjutkan, siap mendukung arah diagnostik penyakit ebola di Indonesia. “ITD memiliki biosafety level 3, yang secara tingkatan klinis, diagnostik, pengajaran, penelitian, atau fasilitas produksi membantu menanggulangi penyakit serius atau berpotensi mematikan oleh bakteri, parasit, dan virus,” katanya.
Tiga negara yang terjangkit wabah ebola adalah Guinea, Sierra Leone, dan Liberia. Sejak mulai berjangkit pada Maret 2014 di Guinea, hingga Senin, 4 Agustus lalu, sebanyak 887 korban meninggal. Meski begitu, hingga saat ini belum ada laporan warga negara Indonesia yang tinggal di wilayah Afrika Barat tertular virus mematikan ebola.
ARTIKA RACHMI FARMITA
TERPOPULER: