Dia juga menegaskan bahwa korupsi haruslah diberantas memang benar. Tapi, memberikan stigma dengan menyamakan semua anggota partai politik sebagai calon koruptor, berkepribadian tercela, tidak dapat berlaku adil, sehingga tidak memenuhi syarat menjadi Hakim Konstitusi, suatu penalaran yang tidak benar. (Baca: Perppu MK Ketika Disetujui)
Ahmad Fadlil mengungkapkan Mahkamah Konstitusi pernah memutus satu ketentuan dalam undang-undang yang didasarkan atas suatu stigma, yaitu larangan bagi seorang warga negara untuk menjadi calon anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota yang terlibat tidak langsung dalam peristiwa G30S/PKI.
"Larangan melakukan hukuman politik berdasarkan stigma tersebut harus berlaku pula untuk perkara a quo, yaitu tidak membuat aturan berdasarkan stigmatisasi baik terhadap anggota partai politik atau anggota DPR, maupun kelompok atau golongan masyarakat lainnya, untuk mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Hakim Konstitusi," katanya.
Dari segi original intent pengajuan Hakim Konstitusi dari DPR dimaksudkan bahwa DPR bebas memilih calon Hakim Konstitusi termasuk dari anggota DPR yang memenuhi syarat. Asalkan, kata dia, pada saat menjadi Hakim Konstitusi melepaskan keanggotaannya dari partai politik.
"Sumber calon Hakim Konstitusi haruslah dibuka seluas-luasnya dari berbagai latar belakang, sepanjang sesuai dengan syarat-syarat yang telah ditentukan," tegas Fadlil.
PRIHANDOKO | ANTARA
Berita Terkait
Bersaksi di Sidang, Hakim Usman Kaget soal Akil
|Siang Ini, MK Putuskan Uji Materi UU MK
Hakim MK Jadi Saksi Chairun Nisa