TEMPO.CO , Jakarta:Ketua Komisi Penyiaran Indonesia, Judariksawan mengakui kesulitan menindak lembaga penyiaran yang menayangkan iklan atau siaran yang berupa kampanye. Alasannya, kata Judariksawan, terbentur pada aturan mengenai bentuk kampanye yang disebutkan di undang-undang.
"Disebut kampanye jika memenuhi beberapa syarat, seperti ajakan untuk mencoblos atau ada penyampaian visi dan misi," kata Judariksawan ketika ditemui seusai rapat dengar pendapat di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa, 11 Februari 2014.
Dia mengatakan, banyak siaran yang tidak mencakup hal itu, misalnya tampil di sinetron atau membuat kuis.
Judariksawan menuturkan, KPI mensiasati syarat iklan politik yang disebut dengan kampanye. Misalnya, ketika orang memasang iklan artinya sudah mengajak memilih meski tidak ada kata ajakan secara eksplisit. Visi misi program pemilu, ujarnya, bisa dilihat berupa ekstraksi gambaran partai di iklan. (Baca: Iklan Kampanye Hanya 21 Hari Jelang Pemilu)
Menurut Judariksawan, Komisi sudah menindak tegas lembaga penyiaran yang menayangkan iklan kampanye. Sanksi yang diberikan berupa teguran. Namun, ucap dia, banyak lembaga penyiaran yang tak menganggap teguran sebagai sanksi, mereka tetap terus melanggar.
"Mereka lupa kalau kumulatif teguran bisa mempengaruhi perpanjangan izin penyiaran," kata Judariksawan.
Sayangnya, tutur Judariksawan, pencabutan izin sulit dilakukan karena harus melewati proses di pengadilan. Di pengadilan pun, KPI sering kalah karena iklan atau siaran yang dibuat tak memenuhi unsur kampanye sesuai Undang Undang Pemilihan Umum.
Sebenarnya KPI ingin membuat peraturan terkait siaran kampanye. Namun, ujar Judariksawan, KPI tak berhak membuat aturan terkait pemilu karena wewenangnya berada di Komisi Pemilihan Umum. Untuk itulah, kata dia, Undang-Undang Pemilihan Umum yang terkait kampanye perlu direvisi.
SUNDARI