TEMPO.CO, Yogyakarta - Pegiat Forum Persatuan Umat Beragama (FPUB) Yogyakarta, Kyai Abdul Muhaimin, memprotes banyaknya benih tak toleran yang dibiarkan meluas di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menuding pemerintah daerah di DIY tidak sensitif dengan munculnya banyak gejala antitoleransi yang bisa berpotensi memperbanyak aksi kekerasan atas nama perbedaan keyakinan. "Contoh konkret, baliho besar anti-Syiah dibiarkan bertebaran di jalanan," ujar Muhaimin kepada Tempo di sela peringatan haul Gus Dur pada Senin malam, 16 Desember 2013.
Muhaimin bertambah kecewa karena forum seminar bertema anti Syiah-juga berlangsung di Masjid UGM. Menurut dia, komunitas intelektual seharusnya menyadari isu anti-Syiah berbahaya bagi agenda menjaga tidak ada lagi konflik dengan dasar perbedaan keyakinan pada sesama anak bangsa. "UGM itu kampus nasionalis, berdiri di atas tanah keraton, malah menggelar seminar anti-Syiah. Ini pengkhianatan besar pada ideologi kebangsaan," ujar dia.
Dalam beberapa bulan terakhir, di banyak pinggiran jalan ramai sekitar Kota Yogyakarta memang tersebar sejumlah baliho besar dengan tulisan paling mencolok "Syiah Bukan Islam". Baliho itu terpasang beberapa bulan lamanya di sejumlah titik, seperti perempatan Rumah Sakit Umum Daerah Wirosaban, pinggiran parkir Ngabean, perempatan Masjid Baiturrohman dekat Pabrik Gula Madukismo, dan lainnya. "Saya heran, mengapa tidak dicopot saja," kata Muhaimin.
Sementara itu, di Masjid UGM, seminar terakhir mengenai wacana anti-Syiah belangsung pada Ahad, 15 Desember 2013. Forum itu merupakan acara bedah buku berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia. Baliho pengumuman acara itu terpasang dengan ukuran besar di pintu masuk barat Masjid Kampus UGM. Baliho itu mengumumkan acara tersebut juga dibarengi dengan Deklarasi Masyarakat Pecinta Sunnah Yogyakarta.
Penyelenggara acara tersebut terdiri dari banyak organisasi. Di antaranya Forum Umat Islam (FUI) Yogyakarta, Jamaah Sholahudin UGM, Majelis Mujahidin Indonesia, Mahasiswa Pecinta Islam, Indonesia tanpa JIL, KAMMI, Forum Komunikasi Aktivis Masjid, Jamaah Anshorut Tauhid, dan banyak organisasi lainnya.
Baca juga:
Muhaimin menyesalkan adanya acara ini karena menunjukkan tidak adanya dukungan kampus UGM untuk menghindari makin memanasnya sikap anti-Syiah di Yogyakarta. Dia menilai hal ini setali tiga uang dengan pemda-pemda di Yogyakarta yang membiarkan benih intoleransi, termasuk perusakan dua makam kerabat keraton yang terjadi dua bulan belakangan, tumbuh. "Sebenarnya ada SKB tiga menteri yang meminta pemerinta daerah menjaga stabilitas keamanan dari potensi konflik antarkelompok berbeda agama," ujar dia.
Muhaimin berharap Gubernur DIY Sultan Hamengkubuwono X mengambil langkah untuk meminimalkan gejala intoleransi. Dia berpendapat, Keraton Yogyakarta memiliki tugas kebudayaan yang melekat untuk melindungi semua kawula mataram dari beragam keyakinan. "Yang hanya percaya ke Nyi Roro Kidul saja harus dilindungi," kata Muhamin.
Dia menjelaskan, semestinya situasi ini menjadi catatan penting bagi pegiat toleransi di DIY, agar memberikan perhatian pada upaya kampanye penghormatan pada kemajemukan. "Selama ini, kalau rekomendasi ke pemerintah daerah sudah kami berikan, tapi belum ada tanggapan dalam bentuk kebijakan," kata dia.
Pada November lalu, komunitas pegiat kajian pemikir Syiah, Rausyan Fikr, menerima teror sebanyak dua kali, yang menurut polisi, berasal dari gerakan anti-Syiah di Yogyakarta. Ancaman pertama karena ada peringatan hari Assyura dan info akan ada serangan ke sekretariat Yayasan Rausyan Fikr.
Menurut Edi Syarif, Humas Rausyan Fikr, selama ini wacana anti-Syiah tersebar tak hanya lewat baliho. Dia mencatat, sejumlah selebaran anti-Syiah juga terpasang di berbagai masjid, termasuk masjid yang tidak jauh dari sekretariat yayasannya.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM