TEMPO.CO, Surabaya - Pengamat sosial sekaligus dosen sosiologi Universitas Airlangga, Bagong Suyanto, menuturkan ada tiga tipe pekerja seks di lokalisasi Dolly, Surabaya. Temuan ini berdasarkan hasil penelitian kualitatif tentang anak perempuan dalam industri seks di Dolly sepanjang tahun 2012. Pengelompokkan ini berdasarkan orientasi wanita untuk menjual diri.
Pertama, tipe wanita fatalistik. Tipe ini, kata Bagong, mencakup wanita yang terjerumus ke dunia hitam karena menjadi korban, baik korban kekerasan dalam rumah tangga, penipuan, dan perdagangan manusia. "Mereka menjual diri karena terpaksa, pemicunya bukan faktor ekonomi," kata Bagong kepada Tempo, Jumat, 11 Oktober 2013.
Kedua adalah tipe pretty woman. Tipe pekerja seks yang demikian terjerumus lantaran didorong faktor ekonomi, namun si PSK menunggu dilamar pelanggannya agar bisa keluar dari dunia maksiat.
Adapun tipe ketiga adalah pekerja seks yang sengaja menjadikan profesinya untuk mereguk keuntungan dari para pelanggannya. Pada tipe ketiga ini, Bagong melihat, wanita terjun ke dunia maksiat didorong kondisi ekonomi dan cenderung enggan beralih profesi. Pasalnya, pekerja seks akan mendulang duit dengan cara memanfaatkan pelanggan. "Pada tipe ketiga, pekerjaan menjual diri itu ibaratnya membalikkan penderitaan. Mereka jual diri dan menikmatinya karena bisa morotin uang tamunya," ujarnya.
Karena dipicu banyak faktor, ia meragukan efektivitas Pemkot Surabaya yang akan menutup lokalisasi Dolly. Solusi semakin sulit ditemukan tatkala Pemkot Surabaya terjebak dalam cara pandang: pelacur itu sebagai terdakwa atau korban. Bila sebagai korban, Pemkot Surabaya wajib memberikan bimbingan secara personal, pelatihan, dan modal kerja. Namun, bila pelacur dianggap terdakwa atau pembuat onar sosial, Bagong menyarankan, si pelacur dan aktor-aktor lainnya dihukum dan moralnya diperbaiki secara agama. Masalahnya, kata dia, tidak semua pelacur sebagai korban maupun terdakwa. "Tidak bisa di-gebyah uyah."
Terlepas dari itu, soal lokalisasi umumnya dan Dolly khususnya, Bagong mengusulkan agar Pemkot Surabaya fokus pada dua hal. Pertama, memutus mata rantai pelacuran dibawah umur. Dengan demikian, ia optimistis satu alur dunia prostitusi bisa dipangkas. Melalui program pendidikan, pengawasan orang tua, pergaulan, dan penguatan iman bisa menjadi senjata memutus rantai pelacuran anak di bawah umur.
Setelah ini tuntas, Pemkot Surabaya tinggal konsentrasi penuh pada lokalisasi dan pekerja seks lepas yang biasa mangkal di hotel-hotel. Kedua, Pemkot Surabaya wajib menggandeng lembaga swadaya masyarakat yang sudah intens berkomunikasi dengan pelaku dan aktor-aktor di lokalisasi. Sebab, LSM lebih mengetahui sifat dan watak para aktor dunia maksiat, termasuk jalan keluarnya. Inipun, ia menegaskan, tetap butuh waktu panjang. "Masalahnya mengapa praktek prostitusi kelas atas itu susah di berantas? Prostitusi yang berlangsung di hotel bintang 5 itu lebih susah dijamah ketimbang prostitusi menengah ke bawah, seperti lokalisasi," ujarnya. "Butuh komitmen pemerintah untuk tidak pindang bulu." Selengkapnya, baca Edisi Khusus Dolly.
DIANANTA P. SUMEDI
Berita terkait:
Mantan Muncikari Naik Haji
PSK di Dolly Mengaku Tidak Suka Pria Perkasa
Semalam, Satu PSK Dolly Layani 10 Tamu
Prostitusi di Dolly, Siapa Yang Diuntungkan?