Sementara itu, maestro tari Remo asal Jombang, Ali Markasa, 71 tahun, mengatakan selain lewat parikan, pesan politis PKI juga muncul dalam cerita atau lakon yang ditampilkan. "Ludruk-ludruk Lekra dulu bercerita tentang Kahar Muzakar (DI/TII), Aidit, Gerwani, dan sebagainya," katanya.
Meski jadi saksi sejarah kejayaan Lekra, Sulkan maupun Ali mengaku tak tahu dengan lakon atau cerita ludruk Lekra yang jadi kontroversi masa itu seperti Gusti Allah Ngunduh Mantu (Tuhan Mengambil Menantu) dan Malaikat Kimpoi. "Saya enggak tahu. Saya hanya niat mencari nafkah lewat ludruk, tidak mikir politik," ucap Ali.
Menurut budayawan Jombang, Nasrul Ilahi, sebelum terjadi polarisasi grup ludruk yang dipengaruhi kepentingan politik tahun 1960-an, di Jombang sudah terjadi perbedaan prinsip hidup antara kelompok ijo (hijau) seperti santri dan kiai dengan kelompok abang (merah).
Meski berbeda prinsip hidup, menurutnya di antara kelompok ijo dan abang masih bisa bersinergi atau bekerja sama dan bergotong royong dalam aktivitas kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun saat pecah peristiwa G30S, hubungan baik itu terkoyak akibat politik. "Pengaruh politik memang cukup besar. Kesenian hanya ditunggangi saja," ujar Ketua Lembaga Pengkajian dan Pendidikan Alternatif Semesta ini.
Banyak kiai yang dibunuh dan sebaliknya banyak orang-orang pengikut PKI yang dipenjara maupun dihabisi nyawanya termasuk seniman-seniman ludruk di bawah Lekra. "Jadi seperti saling dendam," tutur adik kandung budayawan Emha Ainun Najib ini.
Setelah G30S pecah, semua pementasan ludruk dilarang oleh pemerintah dan sempat vakum selama dua tahun. Namun akhirnya oleh pemerintah dihidupkan kembali dengan dibina dibawah institusi militer. "Karena ludruk itu aset budaya, akhirnya dihidupkan lagi dengan merekrut pemain-pemain ludruk lama tapi dibawah grup bentukan ABRI," kata Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Mojokerto Eko Edy Susanto.