TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung akan menagih pemerintah Papua Nugini untuk mengirimkan draf ekstradisi buronan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia, Joko S. Tjandra. Tim dari pemerintah Papua Nugini pernah berjanji akan menyelesaikan draf tersebut sejak surat permohonan ekstradisi disampaikan pada Juni 2012.
"Kesanggupan mereka dalam enam bulan atau pertengahan bulan ini, tapi sampai tanggal 14 Januari belum dikirim," kata Wakil Jaksa Agung, Darmono, saat ditemui seusai acara pelantikan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi, Senin, 14 Januari 2013.
Ia menyatakan, Kejaksaan akan menagih draf tersebut ke Duta Besar Papua Nugini yang bertugas di Indonesia. Kejaksaan berharap draf tersebut dapat cepat dikirimkan sehingga proses pemulangan Djoko Tjandra untuk menjalani hukuman dapat terlaksana.
"Hari ini atau besok akan diminta ke Duta Besar Papua Nugini," kata Darmono.
Permintaan ekstradisi Joko S. Tjandra sendiri sempat terhambat pada awalnya karena pemerintah Papua Nugini menganggap permintaan tersebut tidak serius. Selain itu, permintaan ekstradisi juga dikirimkan pada saat Papua Nugini sedang dalam proses pergantian perdana menteri.
Akhirnya, tim terpadu yang diketuai Darmono datang langsung ke Papua Nugini bersama lima anggota lainnya, yang merupakan perwakilan dari Kementerian Luar Negeri; Direktorat Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia; Interpol; dan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan.
Joko S. Tjandra adalah buronan kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi, Djoko dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama dua tahun dan denda Rp 15 juta.
MA juga memutuskan untuk menyita dan mengembalikan barang bukti dalam rekening di Bank Bali sebesar Rp 546,16 miliar kepada negara. Meski telah mengganti kerugian negara, status hukum bagi Djoko tetap berlaku dan harus dijalani.
Joko S. Tjandra meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta ke Port Moresby pada 10 Juni 2009, satu hari sebelum MA mengeluarkan keputusan atas perkaranya. Ia kemudian mengajukan kewarganegaraan pada pemerintah Papua Nugini, dengan klaim tidak terikat perkara hukum di Indonesia.
FRANSISCO ROSARIANS