TEMPO.CO, Yogyakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendorong Kejaksaan Agung membuka kasus penembakan misterius atau petrus dan membawanya ke pengadilan. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban dari peristiwa penembakan misterius tahun 1982 sampai 1985 mencapai 10 ribu orang.
Dari sekian orang yang dianggap preman oleh pemerintah Orde Baru, seorang di antaranya adalah Trimurjo alias Kentus. Ia menceritakan betapa ia sangat menderita akibat operasi petrus. Siapa saja yang dianggap gali atau preman, pasti mati ditembak secara misterius. Satu per satu nyawa teman-temannya hilang. Ada Wahyo, Tetuko, Kojur, Iren, Slamet Gajah, Slamet Gaplek, Polimron, Peno, dan Bandi Ponyol.
Gundah akibat kematian beberapa teman, Kentus bersama Monyol dan Mantri, dua target petrus lainnya, minta perlindungan Lembaga Bantuan Hukum di Jakarta pada awal tahun 1983. Mereka mengadu pada Adnan Buyung Nasution (mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden), Yap Thiam Hien (pejuang HAM--sudah meninggal), Abdurrahman Saleh (mantan Jaksa Agung), dan Maqdir Ismail (pengacara).
Berbekal informasi minim, jurnalis Tempo, Muh Syaifullah, mengubek-ubek perkampungan di kawasan lokalisasi Pasar Kembang hingga sekitar Tugu Yogyakarta untuk mencari Kentus. Tapi, ia tak menemukannya. Setelah menyisir informasi dari banyak orang, akhirnya Kentus bisa ditemui di rumah kontrakannya di Jlagran, Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta, Kamis pekan lalu.
Bagaimana kisah Anda jadi target petrus?
Kalau di sini (Yogyakarta) disebut OPK (Operasi Pemberantasan Kejahatan). Ramai-ramainya akhir tahun 1982. Saat itu sedang ramai kampanye. Saya jadi disuruh mengawal Golkar menjadi semacam satuan tugas (satgas). Lalu ada teman saya namanya Wahyo ditembak di lokalisasi SG (Sanggrahan-sekarang Terminal Bus Giwangan Yogyakarta).
Mengapa kawan Anda ditembak?
Saya awalnya tidak tahu mengapa dia ditembak. Ditembak oleh siapa juga tidak tahu. Setelah meninggal, dan saya mau melayat, saya dilarang sama teman-teman. "'Enggak usah melayat. Kamu nanti ikut kena.' 'Kena apa?' 'Kena operasi gali.' Kata saya, 'Lah gali-gali kenapa? Saya enggak merasa jadi gali.' 'Kalau kamu melayat di sana, malamnya kamu bisa dibunuh,'" kata teman saya.
Apa yang terjadi setelah itu?
Lalu, satu hari setelah Wahyo mati ditembak, Tetuko sama Kojur, teman saya, juga mati bareng ditembak. Setelah itu, saya merasa tidak enak. Jangan-jangan nanti giliran saya ditembak. Kampung saya ini (Jlagran) kan dulu masuk dalam kampung blacklist. Lalu, setelah itu ada Iren, juga teman saya yang mati dibunuh. Ini tahun 1982 akhir mau masuk tahun 1983. Yang Iren itu ngeri. Dia ditembak di kandang babi di depan anak dan istrinya. Dia diberondong peluru. Setelah Iren meninggal, saya semakin resah.
Setahu Anda, berapa orang yang dianggap gali di Yogyakarta ini yang ditembak mati?
Kalau di Kota Yogyakarta ada 30-an mati ditembak. Bantul banyak banget. Kalau se-DIY lebih dari 200 orang yang mati ditembak.
Menurut Anda, mengapa mereka ditembak?
Lah itu kami penuh tanya mengapa mereka mati ditembak. Kami ini waktu itu pengawal Golkar. Tapi kalau Wahyo itu kerjaannya di terminal lama (sekarang Taman Hiburan Rakyat Purawisata). Dia di sana jualan tiket. Tetuko dan Kojur juga sama. Mereka dianggap gali. Kalau sekarang dianggap preman. Kalau saya kan hidup memang di jalanan. Tapi tidak pernah memeras atau mencuri. Kalau berantem sering. Saya juga menjadi penjaga keamanan di SMA Bhinneka di belakang Pasar Kranggan, Yogyakarta.
Anda juga jadi target?
Saat saya di SMA Bhinneka, tahu-tahu saya dicari oleh tiga orang, aparat semua. Satu saya kenal sebagai polisi dengan pakaian preman. Saya baru masuk kerja dan kebetulan ada di lantai atas. Saat tiga orang itu mencari, kepala sekolah saya bilang, "Sudah keluar tadi". Saat tiga orang aparat itu pergi, saya turun. Lalu enggak pulang dan tidak tidur di rumah.
Apa yang Anda lakukan setelah melihat teman-teman Anda tewas ditembak?
Di kampung saya, yang dituakan ada tiga. Pak Monyol, Pak Mantri, dan saya. (Kini Monyol sudah meninggal akibat kecelakaan, sedangkan Mantri menghadap Tuhan karena sakit). Kami berembuk, kalau tidak pergi repot. Kami menyuruh seorang bocah kampung sini (Jlagran) beli tiket kereta api. Tujuannya Jakarta, ke kantor LBH. Kami naik kereta Senja Utama. Saat itu kereta sudah jalan, kami kejar kereta itu. Sampai Jakarta bingung. LBH di mana juga enggak tahu. Lalu ada ide ke kantor Kompas. Saya minta tolong salah satu wartawan Kompas yang dari Yogyakarta untuk mengantar ke LBH, yang di Jalan Diponegoro. Di LBH ketemu Abdurahman Shaleh, Yap Tiam Hien, dan Adnan Buyung Nasution. Saya omongkan semua di sana.
Apa tanggapan LBH?
Kata Pak Buyung, ini soal OPK, to. Penembakan-penembakan itu, to. Pak Yap bilang ini urusan kecil. Saya jawab, urusan kecil, tapi orang-orang di Yogyakarta dibunuh. Pak Yap menangani kasus-kasus besar. Lalu saya diserahkan ke Pak Buyung, Pak Arman, dan Maqdir Ismail. Maqdir masih sangat muda, kayaknya baru lulus kuliah saat itu. Saya disuruh menginap di LBH. Waktu itu yang nangani OPK Dandim Yogyakarta. Saat itu dijabat oleh M. Hasbi. Saya menginap di LBH satu minggu. Akhirnya, Pak Hasbi tahu kalau saya di LBH Jakarta. LBH ditelepon sama Hasbi. LBH disuruh menyerahkan kami bertiga. LBH tidak mau. Lalu LBH minta surat jaminan hidup. Jika tidak ada surat jaminan hidup, maka kami tidak dipulangkan. Lalu Hasbi mengeluarkan surat jaminan hidup. Surat dikirim ke Pak Buyung dan kawan-kawan di LBH.
Anda balik ke Yogyakarta bersama siapa?
Kami pulang ke Yogyakarta naik kereta api. Yang mengawal kami Maqdir Ismail. Sampai di Yogyakarta, kami dijemput empat tentara pakai tutup kepala dan senjata laras panjang. Kalau sekarang seperti perlakuan kepada teroris. Mereka mau menculik kami. Pak Maqdir ngomong, 'Kalau Bapak ini mau menembak, tembak saya dulu, yang mengawal.' Dari LBH juga menjemput kami ada juga Pak Artidjo Alkostar. 'Tembak saya,' kata Artidjo. Akhirnya mereka mundur.
Setelah dari stasiun, Anda dibawa ke mana?
Oleh LBH saya dibawa ke Bu Marni Basyaruddin, orang LBH. Waktu di rumah itu, sering ada teror. Tiga hari di rumah Bu Marni. Teror melalui telepon. Rumah mau digranat, mau dibom. Bu Marni sampai stres. Lalu kami diserahkan LBH ke Kodim oleh Maqdir. Dititipkan di kantor Kodim di Jalan Sudirman, Yogyakarta. Satu minggu dimasukkan sel. Tidak ada penyiksaan. Tapi kami lihat temboknya itu banyak darah bercecer.
Anda diteror?
Kami diteror mau dibunuh ada. Ada tentara yang bilang, 'Temanmu sudah pada mati, kamu tak bunuh.' Kami makan beli sendiri. Dari Kodim, kami diserahkan ke Polres selama lima hari. Kami disel, tetapi pintu sel kami bertiga tidak dikunci. Tetapi sel lain penuh. Setiap hari saya diinterogasi. Saat di Kodim diperiksa juga, bahkan pengusaha-pengusaha Cina di Malioboro dikumpulkan untuk ditanya apakah saya pernah minta uang kepada mereka. Tidak ada yang bilang pernah saya mintai uang. Kalau pengusaha ada yang bilang bahwa saya pernah minta uang, saya pasti langsung ditembak.
Apa yang Anda lakukan setelah keluar dari tahanan?
Selama delapan tahun saya tidak kerja. Saya stres. Setiap Senin saya harus apel di kantor Koramil (Gedongtengen) selama enam tahun. Anak saya dua waktu itu. Mau kerja, di mana-mana saya ditolak. Saya bahkan diusir oleh teman sendiri. Jika ada di rumah orang, maka satu jam kemudian pasti rumah itu dikelilingi intel.
Bagaimana Anda menghidupi anak-istri?
Saya akhirnya jual nasi kecil-kecilan. Mau beli sepatu buat anak saja tidak kuat. Istri saya (Wahyu Handayani) kurus-kecil. Mau bayar sekolah anak juga sulit. Bahkan anak saya disuruh pulang mau dikeluarkan karena belum bayar SPP. Lalu saya bisa kerja. Pernah di Astra Credit Company 1992-1997. Beberapa perusahaan mengajak saya kerja. Sekarang saya kerja di perusahaan mebel untuk ekspor.
BIODATA
Nama: Trimurjo alias Kentus
Lahir: Yogyakarta, 3 Maret 1955
Istri: Wahyu Handayani, kelahiran 1959
Anak: empat
Cucu: tiga
Alamat: Jlagran, Pringgokusuman, Gedongtengen, Kota Yogyakarta.