TEMPO.CO, Banda Aceh – Gedung penyelamat atau escape building terabaikan saat gempa pekan lalu. Warga yang panik hanya sebagian kecil singgah di sana. Warga lainnya lebih memilih menyelamatkan nyawa sekaligus mobil dan sepeda motor.
Wansurdin, misalnya, warga Desa Lambung itu mengaku tak terpikir untuk menuju gedung itu. “Kami sekeluarga hanya berpikir menjauh dari laut sambil membawa motor kami,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 16 April 2012.
Menurut dia, saat gempa Aceh pada Rabu sore, 11 April 2012, dia memboyong keluarganya dengan sepeda motor menuju arah Mata Ie, daerah yang dinilainya aman. Ribuan warga lainnya melakukan hal yang sama.
Dia mengaku telah beberapa kali mengikuti simulasi penyelamatan tsunami yang mengajarkan warga siaga bencana bila terjadi gempa dan tsunami. Dalam simulasi, warga pinggir laut Ulee Lheu diajak masuk ke escape building. “Tapi, saat gempa kemarin, lain pikiran kami. Karena selain menyelamatkan diri, perlu juga menyelamatkan harta seperti sepeda motor,” ujarnya.
Lukman, warga lainnya, mengakui hal yang sama. “Saya memboyong keluarga dengan mobil, beberapa barang berharga kami angkut,” ujarnya. Kalau ke gedung penyelamat itu, kata Lukman, bila tsunami datang, yang selamat hanya orang, tetapi tidak sebagian harta yang dimilikinya.
Alhasil, saat gempa Aceh yang diperkirakan menimbulkan tsunami, hanya seratusan warga sekitar Ulee Lheu yang singgah di gedung penyelamat. Ribuan lainnya memilih lari dengan mobil dan sepeda motor. Hal itu membuat lalu lintas padat dengan jalur evakuasi yang amburadul.
Ada empat gedung penyelamat di Banda Aceh yang terletak di Kecamatan Meuraxa. Salah satunya dipakai untuk kantor Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) yang dikelola oleh Universitas Syiah Kuala.
ADI WARSIDI