TEMPO.CO, Pekanbaru - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau dan Sekretariat Bersama (Sekber) Pulihkan Hak Rakyat Indonesia mendesak Kapolri untuk menarik pasukan Brimob dari lahan sengketa antara warga Batang Kumu versus PT Mazuma Agro Indonesia (MAI), Tambusai Rokan Hulu, Riau.
Desakan itu menyusul tertembaknya lima petani sawit dalam bentrokan berdarah, Kamis, 2 Februari 2012. Walhi juga mendesak agar tiga ibu petani yang ditahan di Polsek Sosa Padang Lawas, Sumatera Utara, segera dibebaskan.
“Kita mendesak agar Kapolri segera menarik seluruh pasukan Brimob yang ada di lokasi konflik lahan. Keberadaan personel Brimob itu akan terus memicu perlawanan warga,” ujar koordinator Sekber Riau, Hariansyah Usman, Jumat, 3 Februari 2012 di Pekanbaru, Riau.
Hariansyah mengatakan kejadian penembakan itu membuktikan polisi selalu mengedepankan tindak kekerasan dalam mengantisipasi aksi masyarakat. “Terjadinya kekerasan dan penembakan ini menunjukkan bahwa Kepolisian tidak pernah belajar, melakukan koreksi, refleksi, dan otokritik atas semua kontribusinya dalam kekerasan-kekerasan terhadap bangsa Indonesia.”
Kekerasan itu, kata Hariansyah Usman, antara lain dalam kasus Mesuji, Register 45 Lampung; pembunuhan terhadap Made Aste, Register 45 Lampung; Kekerasan di Bima, Nusa Tenggara Barat; penembakan petani Karang Mendapo, Jambi; penembakan suku Anak Dalam, Jambi; Penembakan warga Bonto Biraeng, Bulukumba, oleh Brimob; dan banyak lagi kejahatan lainnya yang dilakukan aparat Kepolisian.
“Aksi brutal aparat Brimob Polda Sumut di Batang Kumu merupakan pelanggaran serius terhadap UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan juga pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri (Perkap) No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian RI,“ kata Hariansyah Usman.
Menurut catatan Walhi Riau, konflik antara warga Batang Kumuh dan PT MAI sudah berlangsung sekitar delapan tahun silam. Jumlah korban kriminalisasi aparat penegak hukum mencapai 20 orang.
Hariansyah menyebutkan PT MAI selalu menggunakan aparat Brimob untuk mengamankan aktivitasnya di lahan konflik itu. Bahkan, sejak kurun waktu tahun 2010 hingga 2011, perusahaan ini sampai membakar puluhan rumah penduduk.
"Sesungguhnya, bukan sekali ini saja polisi melakukan kriminalisasi terhadap petani. Ini benar-benar keterlaluan. Polisi selalu berpihak kepada PT MAI," ujar Hariansyah.
Catatan Walhi juga menyebutkan bahwa konflik itu lebih pada tidak tegasnya pemerintah dalam mengatur tapal batas daerah, termasuk antara Sumatera Utara dan Riau. Padahal konflik perkebunan kelapa sawit antara warga Batang Kumuh dan PT MAI telah terjadi sejak 1998.
Terkait tapal batas wilayah itu, pihak pemerintah Riau menyebutkan sudah berkali-kali mengajukan usulan pengaturan kepada Kementerian Dalam Negeri. Menurut Kepala Biro Tata Pemerintah dan Organisasi Tata Laksana Setdaprov Riau Rizka Utama, pihaknya malah sudah menyebutkan kekecewaan Pemprov Riau terhadap Kementerian Dalam Negeri yang lambat menetapkan tata-batas Provinsi Riau dan Sumatera Utara.
"Dari awal sudah kita minta agar Kementerian Dalam Negeri menuntaskan masalah tapal batas itu karena potensi konflik tinggi, dan ini terbukti sekarang," kata Rizka Utama kepada Tempo di Pekanbaru, Jumat, 3 Februari 2012.
Menurut Rizka Utama, masalah tapal batas Riau-Sumut sudah diupayakan penyelesaiannya sejak 2007 silam. Dari sejumlah pertemuan dan pembahasan, malah sudah ada kesepakatan dengan pihak Pemprov Sumut. Pemprov Sumut bisa menerima tata batas hasil pertemuan kedua belah pihak.
“Dan jelas kawasan yang dikelola itu berstatus kawasan penyangga hutan lindung Mahato yang berada di wilayah Provinsi Riau,” ujar Rizka Utama. "Kita minta dengan kasus ini, tapal batas itu segera diselesaikan Kementerian."
JUPERNALIS SAMOSIR