Saleh yang saat ini menjabat Kepala Polda DIY mengatakan apabila ijin tersebut telah diperoleh, pemilik senjata harus memperpanjang izin kepemilikan itu selama enam bulan sekali. Jika selama batas deadline perpanjangan izin tidak dilanjutkan, maka dianggap sudah kadaluwarsa dan ilegal.
Kepemilikan senjata ini telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 12 Tahun 1951 dan didukung UU Nomor 20 Tahun 1951 PRP tentang kewenangan perizinan senjata. Konstitusi ini yang selalu digunakan oleh para pejabat Polri untuk menepis tudingan bahwa kebebasan menjualbelikan senjata ini akan menyebabkan Jakarta menjadi ‘ladang koboi’.
Saleh mengingatkan setiap satu butir peluru yang ditembakkan dari senjata api harus dipertanggungjawabkan karena risiko satu butir peluru itu sangat besar dan harus ditanggung secara pribadi. Termasuk oleh anggota Polri. Alasannya, ijin kepemilikan senjata itu atas nama pribadi. “Pertanggungjawaban hukum itu keharusan,” kata Saleh ketika itu.
Artinya, setiap butir peluru yang menjadi barang bukti suatu permasalahan harus menghadapi proses hukum. Di sini, pemilik senjata yang digunakan untuk melontarkan timah panas itu dapat langsung dijerat Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). “Jadi bukan polisi yang bertanggungjawab pada butir peluru itu. Karena sulit dideteksi, maka pemilik senjata yang harus bertanggungjawab,” papar mantan anggota intelijen Mabes Polri ini.
Berdasarkan peraturan Mabes Polri, kata Saleh, proses pemberian izin dan tes memiliki senjata harus diselesaikan dalam rentang waktu antara tiga sampai enam bulan. Bila gagal dalam batas waktu itu, Polri akan menolak melanjutkan uji kepemilikan. Hanya selama pengalaman Polri, dalam waktu limit enam bulan saja, biasanya pemohon bisa berhasil. “Kecuali kalau memang idiot,” ungkap dia.
Prosedur awal pengajuan itu, menurut dia harus mendapatkan rekomendasi dari Kepolisian Daerah (Polda) setempat. Rekomendasi Polda ini untuk mengetahui domisili pemohon agar mudah terdata wilayah setempat. Sehingga kepemilikan senjata dapat mudah terlacak. Dan, setelah mendapat rekomendasi dari Polda, harus lulus tes psikologi dan kesehatan fisik di Mabes Polri.
Tes keahlian menembak merupakan bagian penting setelah usai tahap rekomendasi, tes psikologi dan fisik. Pada bagian tes ini sedikit agak fleksibel. Tes keahlian dapat dilakukan di Polda setempat atau di tempat yang dipilih pemohon. Untuk mendapatkan sertifikat lulus hingga kualifikasi kelas I sampai kelas III calon harus lulus tes keahlian. Kualifikasi pada kelas III ini harus bisa berhasil menggunakan sepuluh peluru dan membidik target dengan poin antara 120 sampai 129.
Mabes Polri menentukan batas usia kepemilikan senjata api bagi yang berusia 21 tahun hingga 65 tahun. Peminat juga harus memenuhi syarat administratif dengan total biaya Rp 5 juta untuk tes psikologi Rp 1 juta, tes kesehatan Rp 1 Juta, uji menembak Rp 1 juta, uji balistik Rp 600 ribu dan pendaftaran Rp 800 ribu.
Jika izin kepemilikan telah diperoleh, kata Wakil kepala Badsan Humas Mabes polri, Edward Aritonang di kantornya, Jakarta, Selasa siang (31/7) pemilik dapat mengunakannya atas izin Mabes Polri yang ditandatangani Kapolri. Kewenangan itu dipertegas oleh Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 20 tahun 1960 tentang Kewenangan Pemberian Izin Menurut UU Senjata Api. Peraturan tersebut diperkuat lagi dengan UU Kepolisian No 28/1997.
Untuk itu, kecuali untuk kepentingan angkatan perang yang diurus oleh masing-masing departemen angkatan perang itu sendiri. “Itulah landasan polri menerbitkan izin dan pengawasan terhadap senjata api.
Sampai tahun 2001, jumlah senjata yang beredar di masyarakat sebanyak 1100 pucuk senjata. Sebagian dari izin kepemilikan senjata, menurut Aritonang, dikantongi beberapa instansi. Misalnya, satpam bank bisa mencapai lima orang. Bila perorangan biasanya hanya mengantongi izin satu pucuk senjata saja. “Yang berkaitan dengan olahraga bisa pula lebih dari satu,” ungkapnya. (E. Karel Dewanto/Istiqomatul Hayati)