TEMPO Interaktif, Jakarta - Kepolisian RI dinilai lamban menyelesaikan kasus tindak pidana korupsi. Indikasi itu terlihat dari lambannya proses penyelidikan kasus dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan dan Pendidikan yang melibatkan perusahaan milik bekas Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin. Bahkan, dari dua puluh kasus korupsi yang mangkrak, sebagian masih terlantar sejak lima tahun lalu. "Dalam penanganan kasus korupsi, Polri masih jeblok," kata Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S Pane, Ahad, 10 Juli 2011.
Menurut dia, lambannya proses penyelidikan merupakan potret kegagalan institusi polri menangani kasus-kasus korupsi. Padahal prosedur penyelidikan di kepolisian memiliki tenggat waktu penyelesaian berdasarkan kategori berat-ringannya suatu perkara yang paling lama 90 hari.
Lambannya proses penyelidikan tak hanya dipengaruhi kecakapan dan kemampuan penyidik. Menurut Neta, adakalanya persoalan ikut dipengaruhi bobot suatu perkara. Polri terkesan sangat ketakutan ketika menangani kasus-kasus korupsi besar. Terlebih jika kasus itu menyangkut pejabat tingggi atau pengusaha besar. "Namun anehnya sangat cepat ketika menangani kasus yang melibatkan orang kecil," kata Neta.
Kabar dugaan korupsi di Kementerian Kesehatan dan Pendidikan muncul setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap kasus dugaan suap wisma atlet Sea Games XXVI di Jakabaring, Palembang. Saat itu Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal, Ito Sumardi, menemui pejabat KPK dan menjelaskan pihaknya tengah mengusut dua kasus itu. Karena penjelasan tersebut, KPK lalu menyerahkan proses penyelidikan kasus kepada Mabes Polri.
Pertemuan kedua pejabat itu terjadi tidak lama setelah KPK menggeledah salah satu kantor tersangka di bilangan Mampang, Jakarta Selatan. Di tempat itu KPK menemukan kertas memo yang menjelaskan adanya aliran dana sebesar US$ 50 ribu kepada Bareskrim dan US$ kepada salah seorang pejabat Direktorat Tindak Pidana Korupsi. Namun indikasi aliran dana itu dibantah oleh Ito beberapa hari setelah ia pensiun dari jabatannya.
Dalam penjelasannya, Ito mengakui bahwa kedua kasus itu telah ditangani polisi sejak lama. Namun proses penyelesaiannya terkatung-katung lantaran polisi masih terfokus pada penyelesaian kasus mafia pajak. Ito juga menyangkal bila kepolisian dinilai menidurkan kasus itu. Sebab, dalam kasus di kementerian kesehatan, polisi telah menyerahkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan sejak tahun 2010 lalu.
Menurut Neta, penyelesaian kedua kasus itu mestinya diambil alih oleh KPK. Apalagi pada saat bersamaan KPK menemukan memo yang mengindikasikan aliran dana kepada sejumlah pejabat Polri. Jika terus ditangani kepolisian, ia khawatir kasus itu akan tidur seperti kasus-kasus besar yang lain. "Sebaiknya Direktorat Tipikor dihapuskan dari Polri, biarkan KPK yang menangani itu," kata Neta.
RIKY FERDIANTO