TEMPO Interaktif, Palu - Kandungan bahan kimia berbahaya berupa merkuri di udara Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah, melebihi ambang batas yang direkomendasikan Badan Kesehatan Dunia (WHO). Banyaknya kandungan merkuri ini akibat aktivitas penambangan tradisional Poboya.
“Pencemaran udara di Kota Palu akibat penggunaan merkuri sudah memprihatinkan, sudah dalam kategori berbahaya,” kata Yuyun Ismawati, peneliti asal Universitas Oxford, Inggris, kepada wartawan di Palu, Senin, 27 Juni 2011.
Yuyun bersama rekannya, Abel Felix dari Ban Toxies Filipina, menyebutkan bahwa konsentrasi tertinggi terjadi di dua lokasi pusat pengoperasian tromol di Poboya, Palu Timur, dengan masing-masing 4.050 dan 5.986 nanogram per meter kubik. “Ini angka rata-rata, di beberapa titik mencapai 50 ribu nanogram” kata Yuyun.
Angka itu, kata dia, sudah melampaui ambang batas standar WHO, yakni 1.000 nanogram. Bahkan untuk Jepang, katanya, mematok lebih rendah dari itu, yakni maksimal 400 nanogram.
Yuyun dan kawan-kawan melakukan pengukuran dengan Lumex RA 192, alat pengukur digital buatan Rusia. Mereka melakukan pengukuran dengan kerapatan 400 meter per 1 zona.
Sementara itu, terkait penertiban atau penataan Pertambangan Tanpa Izin (Peti) di Kelurahan Poboya, Wali Kota Palu Rusdi Matura mengaku masih menunggu hasil eksplorasi PT Palu Citra Mineral’s (CPM).
“Belum ada kepastian waktu. Kami masih menunggu CPM," ujarnya.
Menurut Rusdi, pemerintah daerah meminta ke pusat agar melepaskan sebagian kawasan milik CPM untuk masyarakat. "Ini juga akan dilakukan kalau CPM telah selesai melakukan eksplorasi dan memastikan kalau mereka akan melakukan ekploitasi," kata dia. Rusdi menyatakan telah mempersiapkan rencana untuk pengalihan penggunaan bahan kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida, kepada penggunaan bahan kimia yang ramah lingkungan.
DARLIS