Pasalnya, ia menilai dari sisi politik, tak ada masalah besar yang dihadapi Indonesia dalam demokrasi. Namun, faktor penegakan hukum yang karut-marut boleh jadi menjatuhkan kredibilitas pemerintah di mata publik.
Penegakan hukum disebutnya sebagai basis demokrasi yang kuat. Penegakan hukum yang lemah membuat sistem pemerintahan menjadi lemah pula.
Pekan lalu, Indo Barometer merilis hasil survei bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono". Ternyata, Soeharto menempati urutan pertama sebagai Presiden yang paling disukai responden.
Survei yang melibatkan 1.200 orang itu dilakukan pada 25 April hingga 4 Mei. 36,54 persen memilih Soeharto sebagai presiden favoritnya, lalu Susilo Bambang Yudhoyono 20,9 persen. Berikutnya Soekarno (9,8 persen), Megawati (9,2 persen), B.J. Habibie (4,4 persen), dan Abdurrahman Wahid (4,4 persen).
Adapun tingkat kepuasan publik terhadap SBY-Boediono, yang pada Agustus 2010 berada di tingkat 50,9 persen, melorot menjadi 48,9 persen dalam survei mutakhir itu.
Siti Zuhro menilai naik-turun kepuasan masyarakat adalah hal yang wajar dan terjadi di seluruh dunia. "Seusai pemilihan umum legitimasinya tinggi, tingkat kepuasan masyarakat juga tinggi. Setelah itu angkanya turun, dan baru naik kalau membuat kebijakan bagus," tuturnya.
Ia mengingatkan, saat Orde Baru meski perekonomian lebih stabil, pemerintahan sangat represif dan otoriter. Demokrasi mandek, korupsi terjadi walau tersembunyi karena tak ada kebebasan untuk memberitakannya. "Pendekatannya stabilitas politik, apa pun akan digebuk, dihabisi," ucapnya.
Bagaimana pun, dia mempertanyakan validitas jajak pendapat Indo Barometer itu. Pertama, apakah survei itu bisa mewakili pendapat seluruh rakyat Indonesia. Kedua, Siti Zuhro berpendapat masa Orde Baru dan reformasi tidak bisa disejajarkan untuk dibandingkan karena sangat berbeda. "Survei seperti itu bisa misleading (menyesatkan), siapa yang mau kita endorse (dukung) dalam pemilihan umum kalau kita bias pada Orde Baru?"
BUNGA MANGGIASIH