Minusnya adalah kalau hasil survei atau penelitian ini dipegang atau dipercayai publik. Jika kondisi sekarang lebih buruk dari pada Orde Baru, artinya secara tidak langsung mengatakan pilihan reformasi itu buruk. "Ini flashback," katanya.
Menurut Dani, survei harus memberikan gambaran utuhnya pada publik. Apa yang dimaksud lebih baik dan buruk itu? Baik itu dalam konteks yang mana? Indo Barometer harus mengeluarkan seluruh indikator, metodeloginya seperti apa, metode wawancara, siapa saja respondennya. "Penelitian Indo Barometer itu harus dikritisi karena tak memberikan gambaran komplet. Penelitian harus taat pada kaidah penelitian."
Jaleswari menegaskan Indo Barometer harus menjelaskan persoalan, jangan secara parsial karena ini sangat sensitif. "Kita tahu bersama rezim sebelum reformasi jauh lebih buruk dalam konteks soal hak asasi manusia dan diskriminasi dan segala macamnya."
Dalam hasil survei terbaru yang dilakukan Indo Barometer bertajuk "Evaluasi 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY- Boediono", Soeharto masih menempati urutan pertama sebagai presiden yang paling disukai publik.
Dari survei yang melibatkan 1.200 orang itu, 36,54 persen responden dari seluruh Indonesia memilih Soeharto, lalu Susilo Bambang Yudhoyono sebesar 20,9 persen, Soekarno dengan 9,8 persen, Megawati dengan 9,2 persen, B.J. Habibie dengan 4,4 persen, dan Abdurrahman Wahid dengan 4,4 persen. Sayangnya, Indo Barometer tak mencantumkan peta wilayah publik terhadap presiden yang mereka sukai. Apakah mayoritas publik yang memilih Soeharto berada di Jawa atau Sumatra atau Indonesia Timur.
ALWAN RIDHA RAMDANI