TEMPO Interaktif, SURABAYA - Pengamat politik dari Pusat Studi Demokrasi dan HAM Universitas Airlangga Surabaya M Asfar menilai, kekisruhan politik yang terjadi di Surabaya lebih disebabkan dua pandangan politik berbeda antara Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini dan DPRD Surabaya.
Di satu sisi, orang di seputaran Wali Kota bisa meyakinkan kepada Tri Risma untuk mengambil jarak kepada seluruh partai politik, baik pendukung maupun partai opisisi. "Konsultan dan orang dekat Ibu Risma yakin ke depan Risma tidak perlu lagi kendaraan politik. Status sebagai incumbent bisa membuat Risma menang lewat jalur independen," kata Asfar, Jum’at (4/2).
Berbekal keyakinan tersebut, maka setelah dilantik Risma langsung mengambil jarak dengan seluruh partai politik. Bahkan PDI Perjuangan sebagai partai pengusung juga dijauhi.
Selain itu, kebuntuan politik terjadi karena Risma yang berlatar belakang birokrat ternyata lebih percaya pada orang di sekelilingnya ketimbang menjalin relasi dengan DPRD maupun dengan Wakil Wali Kota.
"Pandangan politiknya berbeda, di satu sisi kalangan DPRD, khususnya PDI-P sebagai partai pengusung tetap menagih janji dan komitmen Risma," ujar Asfar.
Karenanya, proses pemakzulan yang juga didukung oleh PDI Perjuangan semula hanyalah proses untuk mengingatkan Risma. Hanya saja, tanpa disadari proses ini ternyata keblabasan.
Begitu juga partai lainnya, semula ingin menghabisi Risma karena beberapa kepentingan, di antaranya kepentingan para pengusaha reklame yang tidak puas terhadap kenaikan pajak reklame yang dinaikan sepihak. Bagitu juga Partai Demokrat yang ingin menunjukkan kepada Risma akan pentingnya relasi di DPRD.
"Lagi-lagi upaya ini ternyata keblabasen. Tapi begitu tahu PDI Perjungan keblabasan, Demokrat langsung berbalik arah dengan memecat beberapa kadernya," kata Asfar beranalisa.
Tujuan pemecatan, tambah Asfar adalah untuk menunjukkan keseriusan Demokrat dalam mendukung Risma, yang ujung-ujungnya Demokrat kepingin Risma merapat ke Demokrat.
"Saat ini, PDI Perjuangan juga mulai berbalik dan berniat untuk tetap mempertahankan Risma," ucapnya. Namun, keinginan beberapa partai yang akhirnya berbalik untuk mendukung Risma dinilai sebagai langkah yang sia-sia karena Risma sudah berketapan untuk tetap menjaga jarak dengan partai politik.
Sementara itu, terkait pengunduran diri Wakil Wali Kota Surabaya Bambang DH, Asfar menilai langkah itu akibat perlakuan Risma yang tidak bisa menempatkan Bambang DH sebagaimana mestinya.
"Bu Risma menempatkan Pak Bambang sebagai Wakil Wali Kota biasa, padahal perlu diingat Pak Bambang itu punya sejarah panjang. Dia juga bekas Wali Kota yang telah membesarkan Ibu Risma," katanya pula.
Babak akhir dari perseteruan, menurut Asfar, DPP PDI Perjuangan tidak mungkin mengabulkan pengunduran diri Bambang DH. "PDI Perjuangan juga tidak mungkin melepas Ibu Risma. Begitupun Pak Bambang tidak mungkin mundur. Surabaya itu sangat penting sehingga tidak mungkin begitu saja ditinggalkan," tuturnya.
Karenanya, kekisruhan politik di Surabaya ini diperkirakan segera berakhir dengan ending Tri Risma tetap sebagai Wali Kota dan Bambang DH Wakilnya. Pada sisi yang lain, partai-partai politik memecat para kadernya agar tetap mendekatkan diri dengan Risma.
FATKHURROHMAN TAUFIQ.