Rumah Mbah Maridjan Tinggal Kenangan
Sleman - “Subhanallah,” pekik Agus Wiyarto, 50 tahun, saat ia melihat rumah Mbah Maridjan rata dengan tanah dan meterial Gunung Merapi. Ia sedih, namun tak bisa mengeluarkan air mata karena perasaan yang kacau dalam hatinya.
Kenangan-kenangan semasa Maridjan masih hidup muncul kembali saat menyaksikan rumah tersebut sudah rata akibat terjangan awan panas yang membenamkan rumah juru kunci Merapi itu.
Sebelum Merapi meletus pada 26 Otober lalu, rumah Mbah Maridjan yang berada di Dusun Kinahrejo, Desa Umbulhardjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman ini dipakai sebagai tempat berkumpulnya para pecinta alam, tim SAR, hingga orang yang ingin tirakat di Merapi.
“Rumah Mbah Maridjan itu seperti rumah kedua bagi saya dan teman-teman, ia dan keluarga menjadi bagian keluarga kami,” kata Agus Wiyarto, warga Bantul yang dekat dengan Maridjan, Kamis (25/11).
Selain Mbah Maridjan, rumah tembok itu juga dihuni Ponirah (istrinya Maridjan) dan keluarga Asih (anak ketiga Maridjan). Rumah yang menghadap ke selatan dan membelakangi Gunung Merapi itu juga kerap dikunjungi para tamu. dari berbagai kalangan. Mereka biasanya datang sekedar ingin bersilaturahim dengan Mas Penewu Suraksohargo, nama Maridjan dari Keraton Ngayogyakarta.
Rumah Maridjan awalnya hanya berdinding gedheg. Rumah itu dibangun dengan bahan tembok seiring dengan meningkatnya ekonomi keluarga Maridjan. Penghasilannya pun sebenarnya tidak banyak. Tiap bulannya, Maridjan hanya menerima Rp 8000 dari keraton sebagai “imbalannya” sebagai juru kunci Merapi. Ekonomi keluarga Mbah Maridjan mulai moncer setelah dia menjadi bintang iklan produk minuman.
Agus berkisah, sebelum erupsi 26 Oktobe, Mbah Maridjan berpesan kepada warga, “manuto sing duwe seismograf, sing biso ngitung Merapi”. Atau taatlah kepada yang punya seismograf, yang bisa menghitung Merapi, yaitu mengikuti perintah mengungsi ke tempat aman. Kata kata itu diucapkan saat sosialisasi penanggulangan bencana Merapi 5 hari sebelum erupsi.
Namun, ia berbisik kepada Agus, “aku netepi kewajibanku”, aku menepati kewajibanku yaitu sebagai juru kunci Gunung Merapi yang diamanatkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada 1982.
Rumah Maridjan itu sebenarnya berada di tengah Kali Opak, sungai yang tertutup oleh material Merapi saat erupsi ratusan tahun yang lalu. Arah awan panas dan material Merapi memenuhi Kali Opak. Lalu terbentuk Kali Gendol yang saat ini juga sudah penuh dengan material vulkanik.
Kini, Dusun Kinahrejo sudah rata dengan tanah karena terjangan material Gunung Merapi. Dusun di sekitarnya pun sudah rata dan rumah-rumah rusak total hanya atap yang tersisa. Kinahrejo, dusun tempat Mbah Maridjan itu tampak senyap. Rumah mantan juru kunci Merapi itu pun sudah rata. Bahkan masjidnya hanya tersisa bangunan kamar mandi, itu pun rusak berat dan hanya porselinnya saja yang terlihat.
Pada erupsi Merapi 26 Oktober, rumah Maridjan masih terlihat berdiri, hanya atapnya yang roboh. Bahkan masjid “Al Amin” yang berada di sebelah barat rumah Maridjan saat iustru masih tegak berdiri. Namun pada erupsi kedua pada 5 November, rumah dan masjid itu luluh lantak karena diterjang awan panas. Kini Pemkab Sleman berniat menjadikan bekas reruntuhan Mbah Maridjan untuk dijadikan Musium Mbah Maridjan.
MUH SYAIFULLAH