TEMPO Interaktif, Sleman - Kasih ibu sepanjang jalan. Begitu kira-kira ungkapan bagi pengorbanan para ibu yang jadi pengungsi bencana letusan Gunung Merapi di Kabupaten Sleman. Para ibu rela menggendong anak-anak mereka agar selamat dari amukan Wedus Gembel.
Musiyah, 24 tahun, misalnya. Ia tak pernah melepas anak semata wayangnya yang masih berusia 11 bulan dari gendongannya. Sebelum Merapi meletus pertama kali meletus, ia bersama suami dan anaknya sudah mengungsi ke gedung Madrasah Tsanawiyah Cepet, Kecamatan Pakem.
Tetapi karena kemarin malam Merapi meletus lagi, Musiyah terpaksa mengungsi di Stadion Maguwoharjo, Sleman. “Ya gimana lagi,” kata warga Desa Kemiri, Kecamatan Pakem ini saat ditemui di Stadion Maguwoharjo, Jum’at (5/11) siang tadi.
Menurutnya, sudah dua pecan ini tinggal di pengungsian. “Saya hanya membawa pakaian dan perbekalan anak secukupnya, yang penting selamat,” tuturnya.
Tak hanya ibu-ibu, bapak-bapak juga ekstra keras membawa anak-anak mereka untuk mengungsi ke tempat yang aman sejak zona bahaya diperluas jadi 20 kilometer dari puncak Merapi.
Barjo, 43 tahun, warga Dusun Ngepringan, Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, mulai Kamis (4/11) kemarin malam juga mengungsi di Stadion Maguwoharjo. Padahal, Rabo (3/11) sebelumnya, dia masih mengungsi di Kantor Kelurahan Wukirsari, Kecamatan Cangkringan.
Meski dirunduk duka, senyumnya tetap mengembang sambil memanggul anak bungsunya. Dia juga menggandeng anak sulungnya. Beberapa buntal tas berisi pakaian bekas yang didapatnya di lokasi pengungsian juga dipanggulnya untuk digunakan selama mengungsi.
“Ayo pak, panas (perih),” kata anak Barjo mengeluh karena merasakan perihnya abu vulkanik yang beterbangan mengenai mata.
Setelah Gunung Merapi kembali erupsi pada Kamis (4/11) malam, lokasi pengungsian yang awalnya tersebar di beberapa kecamatan akhirnya dipusatkan di Stadion Maguwoharjo. Sebab radius lokasi pengungsian sebelumnya dinilai tak aman.
Sedikitnya ada sekitar 20 ribu orang pengungsi datang ke stadion Maguwoharjo. Para pengungsi ini berasal dari kecamatan yang berada pada jarak kurang dari 20 kilometer dari Merapi, seperti Kecamatan Pakem, Cangkringan, dan Turi.
Banyaknya pengungsi dan bantuan yang datang membuat para petugas kewalahan. Maklum, Stadion ini memang tidak disiapkan untuk lokasi pengungsian. Meski begitu, petugas dan relawan bergerak cepat dengan memetakan wilayah stadion untuk tempat istirahat pengungsi, perawatan medis, dapur umum, toilet, dan sebagainya. Bahkan petugas menyediakan ruangan khusus bagi lansia, balita, dan ibu hamil.
Mayoritas pengungsi terpaksa tidur di emperan Stadion, dan hanya beralaskan tikar plastik. Mereka memenuhi tiap emperan dan lorong dari lantai atas hingga lantai tiga. Sementara ruang khusus lansia, balita, dan ibu hamil ditempatkan di dalam ruangan Stadion yang biasa digunakan untuk ruang rapat, dan ruang ganti pakaian pemain saat ada pertandingan sepakbola.
Sejumlah petugas kesehatan, relawan, tentara, dan mahasiswa ikut ambil bagian melayani kebutuhan pengungsi. Tak hanya itu, relawan dari luar negeri juga sudah tampak hadir.
Berbagai jenis bantuan, mulai dari sembako, obat-obatan, susu, pakaian, air bersih, masker, dan peralatan masak, terus mengalir. Hiruk pikuk pengungsi dan kesibukan petugas, mengharu biru Stadion. Sejumlah bayi menangis karena tak tahan hawa sumuk Stadion. Sementara itu, Gunung Merapi masih menyimpan misteri. Sampai kapan letusan gunung ini terhenti, tak ada yang tahu.
ISHOMUDDIN