TEMPO Interaktif, Kupang - Hak dasar memperoleh pendidikan, kesehatan dan ekonomi warga eks pengungsi Timor-Timur yang masih bermukim di camp pengungsi pascaeksodus jajak pendapat 1999 lalu diabaikan oleh pemerintah. Akibatnya, para eks pengungsi tersebut berencana meminta suaka politik ke negara lain. Padahal, mereka bertahan sebagai warga negara Indonesia, kata Anggota DPD asal Nusa Tenggara Timur.
"Saya melihat kondisi warga eks pengungsi Timtim sangat memprihatinkan, karena kurangnya perhatian pemerintah terhadap hak dasarnya," kata Sarah Lerry Mboeik, Anggota Dewan Perwakilan Daerah asal NTT, di Kupang, Kamis (24/6).
Ia mengaku baru kunjungan kerja ke perbatasan RI-Timor Leste, dan menemukan fakta-fakta tersebut. Di mana, akses warga eks pengungsi akan pendidikan dan kehidupan ekonomi masih sulit serta derajat kesehatan rendah. Hal ini berpengaruh terhadap kondisi psikologis eks pengungsi.
Menurut dia, kurangnya perhatian pemerintah terhadap warga eks Timtim tersebut, karena dianggap mereka sering melakukan tindakan kriminal dan tidak kekerasan lainnya yang meresahkan masyarakat.
Karena itu, banyak warga lokal maupun pemerintah enggan datang ke camp pengungsi untuk menolong mereka. Namun, lanjutnya, sikap eks pengungsi itu diakibatkan tidak dipenuhinya hak dasar mereka. "Warga eks pengungsi mudah terpengaruh, termasuk muncul keinginan mencari suaka ke negara lain," jelasnya.
Tidak adanya bantuan untuk eks pengungsi, tambahnya, membuat mereka sangat menderita. Di mana, anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikannya, karena orang tua mereka tidak memiliki biaya. Banyak anak-anak yang berasal dari camp kemudian mencari pekerjaan membantu orang tua mereka menjadi penjual sayur keliling atau penjual koran di jalan-jalan.
Jika hal ini terus dibiarkan, Lerry menjamin NTT akan sulit mencapai target MDGs pada 2015 terkait memerangi kemiskinan dan kelaparan. "NTT akan sulit capai MDGs pada 2015, jika kondisinya terus seperti ini," katanya.
YOHANES SEO