Tahun 1926 ia masuk sekolah dasar Twede Inlandse School. Lalu dilanjutkan Schakel School, (1931) dan MULO, Makassar (1934). 1936, Manai pergi ke Jogya untuk belajar di Taman Guru Taman Siswa. Dari tahun 1937-1941 ia mengabdikan diri menjadi guru di Taman Siswa.
Tahun 1942 ia berubah haluan menjadi seorang wartawan sampai menjadi Pemimpin Redaksi Pewarta Selebes sampai tahun 1945. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Gemeente (1939-1945). Usai kemerdekaan ia aktif menjadi anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (1946-1950).
Pada akhir penjajahan Belanda sampai pendudukan Jepang, Manai tercatat sebagai Wakil Ketua Partai Indonesia Raya (Parindra) di Makassar. Bekas anggota BP-KNIP ini kemudian menjadi Sekjen PNI. Tahun 1950-1964, ia menjadi anggota DPR RI. Ketika menjadi anggota DPRS, namanya populer lewat Mosi Manai Sophiaan -- yang menuntut reorganisasi dalam Angkatan Perang RI, dan dihentikannya Misi Militer Belanda.
Ia juga sempat menjadi Duta Besar untuk Moskow (1963-1967). Pemimpin Redaksi Suluh Indonesia (1954-1959). Pemimpin Redaksi Suluh Marhaen (1968-1972). Dari istrinya, Moenasiah Paiso, ia berputra enam orang dan mempunyai 18 cucu.
Manai Sophiaan yang termasuk penanda tangan Petisi 50 menderita penyakit parkinson. Tahun 2002 lalu, Istrinya meninggal dunia terlebih dulu. Salah satu anak Manai, yaitu Sophan Sophiaan mengikuti jejaknya aktif di dunia politik dan memilih bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Pusat Data dan Analisa Tempo