Menunggang kuda, berpakaian tradisional lengkap dengan blangkon, beskap, dan jarit, Fadli memimpin arak-arakan budaya ini dalam acara boyongan dari Pasar Ngasem ke Pasar Satwa dan Tanaman Hias Yogyakarta (PASTHY) Dongkelan. Para pedagang yang jumlahnya 287 orang sudah siap di dalam andong lengkap dengan pakaian tradisional menyambut ajakan Fadli dengan gegap gempita. “Ayo.” Arakan budaya ini pun berjalan.
Dengan kepindahan pasar pada hari ini, Kamis, (22/4), maka sejarah Pasar Burung Ngasem di kawasan Tamansari, Kecamatan Keraton tinggal kenangan. Rencananya, pasar ini akan dibangun pusat kuliner dan cindramata, dilengkapi panggung pertunjukan terbuka dengan berlatar belakang Pulau Cemeti.
Ribuan warga ikut menyaksikan boyongan yang diarak dengan 50-an andong dari Pasar Ngasem Dongkelan, yang berjarak kurang lebih satu kilometer. Beberapa masyarakat menitikkan air mata, sedih. “Pasar burung sudah ngancani (menemani) kami puluhan tahun,” kata Sulasmi, pedagang sayur Pasar Ngasem yang bertetangga dengan pasar burung. Matanya berkaca-kaca saat menceritakan ini.
Bukan tanpa sebab, pasar Ngasem begitu mengena di hati masyarakat Yogyakarta. Padahal lokasi pasar ini begitu sumpek, kumuh, dan sempit.
Ketua Komunitas Kampoeng Boedaja Taman Sari, Kompi Setyoko bersama komunitasnya sampai harus mengadakan berbagai acara guna mengungkapkan rasa kehilangan masyarakat di sekitar pasar burung.
Mereka mengadakan acara melukis bersama anak-anak dan para seniman Yogyakarta. “Keberadaan pasar dengan komunitas Taman Sari telah melahirkan romantisme yang mendalam,” katanya. Ini lantaran, menurut Kompi, sudah lebih dari 50 tahun keberadaan masyarakat dan pasar Burung berjalan beriringan.
Kompi bercerita, nilai sejarah Pasar Burung Ngasem tak lepas dari seniman-seniman besar asal Yogyakarta. Sebagai contoh, seniman Yogyakarta yang pernah kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI Yogyakarta) pasti pernah melukis di pasar ini sebagai tugas belajar. “Tanya saja seniman Yogyakarta pasti pernah bikin sketsa di Pasar Burung Ngasem,”ujar Kompi.
Mantan alumni ASRI yang juga anggota KBT, Bambang Sukono membenarkan ini. “Saya dulu juga bikin sketsa di Pasar Burung ini,” katanya. Menurut Bambang, Pasar Burung Ngasem memiliki sisi artistik yang baik untuk tugas belajar. Mahasiswa semester akhir WM Hendrix mengakui bahwa tugas belajar membuat sketsa masih dilakukan di Pasar Ngasem hingga saat ini. "Setiap semester kan kami harus menggambar 500-an sketsa," katanya.
Kartika Affandi pun mengakui hal ini. Dia mengakui, pada tahun 1970-an bersama ayahnya, Affandi, Kartika mengaku sering melukis bersama. Sayangnya, seiring dengan membludaknya para pedagang burung dan satwa lainnya, Kartika menilai pasar ini sudah kehilangan nilai artistiknya.
Ketua Paguyuban Pedagang Pasar Burung Ngasem, Konsep Giyatmo, bahkan berani mengklaim satu-satunya pasar burung yang dikunjungi turis hanyalah Pasar Burung Ngasem. “Ini karena obyek wisatanya sudah satu paket Malioboro-Keraton-Pasar Burung Ngasem-Tamansari,” ujarnya. Menurut Giyatmo, pasar burung sudah menjadi ikon pariwisata Yogyakarta.
Jika dikaitkan dengan ikon pariwisata, sebetulnya dia menyayangkan kepindahan pasar ini. Namun karena niat baik pemerintah ingin menata pasar lebih modern, luas, dan baik, maka pedagang pasar menyetujui ini.
Tak jelas memang kapan Pasar Burung Ngasem mulai ada di Kota Yogyakarta. Konon usia pasar burung sudah ratusan tahun. Namun, pelukis Djoko Pekik membantah mentah-mentah. Menurut dia, pasar burung Ngasem dulunya berada di sebelah timur Pasar Beringharjo. “Skitar tahun 1968 bpindah h ke Ngasem.Jadi bohong kalau usianya ratusan tahun,” kata alumni Akademi Seni Rupa Indonesia (ASR
Meski menimbulkan ganjalan sebagian orang, namun kepindahan Pasar Burung Ngasem ini tanpa menimbulkan gejolak sosial. Bahkan, pemindahan ini juga mendapat apresiasi positif dari turis. Thomas Schowaski, turis asal Jerman, takjub dengan pemindahan pasar yang diwarnai atraksi budaya. “Apakah setiap pemindahan ada acara besar seperti sekarang ini,” tanya Thomas.
Hanya saja bagi Thomas, pindahnya pasar burung ini bisa mengurangi keunikan pariwisata di Yogyakarta. “Di buku pariwisata lonely planet pasar burung ini sudah terkenal dan menyatu dengan Tamansari,” katanya.
BERNADA RURIT