TEMPO Interaktif, Semarang - Namanya Kampung Gunung Brintik, Kelurahan Randu Sari, Kota Semarang. Sebelum krisis moneter menerpa Indonesia medio 1997, kampung perbukitan di belakang Keuskupan Agung Semarang ini dikenal sebagai pondok boro para pedagang sayur dan kuli panggul Pasar Bulu dan Pasar Johar dari beberapa daerah luar Semarang.
Kampung Gunung Brintik menjadi kawasan favorit, karena lokasinya dekat dengan pusat kota. Kontur tanahnya yang terjal dan bersebelahan dengan Tempat Pemakaman Umum Bergota, menjadikan harga sewa sangat murah.
Pada tahun 1997, krisis melanda. Para pedagang sayur bangkrut. Pasar sepi, sebagian menjual lapaknya di pasar. “Dua lapak Saya terpaksa saya jual,” kata Sri Suharti mengenang peristiwa 12 tahun yang lalu. Sejak saat itu, janda 53 tahun asal Magelang ini berjualan serabutan. Untuk memenuhi biaya hidup dan sekolah, ketiga anaknya menjadi pengamen di bus kota. Sepulang dari pasar, Sri ikut mendampingin anak-anaknya mengamen. “Tapi saya tidak ikut meminta-minta”.
Sebelum krisis, sebagain kaum perempuan warga Kampung Brintik memang menjadi pengemis di areal pemakaman. Maklum, Bergota merupakan areal pemakaman terbesar di Semarang. “Namun setelah krisis, hampir seluruh anak di kampung ini menjadi anak jalanan,” tutur Sri. “Sebagian ibu tumah tangganya juga turun mengemis di jalanan”.
Kini, mayoritas anak dan pemuda Kampung Brintik, tepatnya di rukun Tetangga 4 sampai 10, bekerja di jalan, baik pengamen, pembersih kaca, atau sekedar menyodorkan tangan. “Sejak krisis moneter, kampung ini dikenal sebagai kampung pengemis dan pengamen,” kata Sri Suharti yang kini aktif melakukan pendampingan terhadap tetangganya yang turun ke jalan. Sekarang, para keluarga jalanan itu membeli tanah sekedar hak pakai untuk tinggal.
Kondisi serupa juga terjadi di Kampung Delik Rejo, Kelurahan Tandang, Kota Semarang. Di dekat Tempat Pemakaman Umum Delik yang juga berkontur perbukitan terjal, ratusan keluarga yang menggantungkan hidupnya sebagai pengemis dan pengamen di jalanan, berkumpul. Jumlah anak jalanan di Tandang dan Kampung Brintik, sama banyaknya. "Ratusan,” kata Ari Sugiantoro, mantan anak jalanan yang aktif melakukan pendampingan.
SOHIRIN