TEMPO Interaktif, Samarinda - Penayangan film Indonesia terbaru secara serentak, Suster Keramas, dibatalkan di Bioskop Studio 21 Samarinda, Kalimantan Timur. Pembatalan ini terkait penolakan Majelis Ulama Indonesia (MUI) atas film ini karena sarat adegan porno.
"Sedianya kami tayangkan mulai hari ini, tapi batal," kata Manajer Bioskop Studio 21 Kota Samarinda Bono Supriyono, Kamis (31/12).
Bioskop 21 Samarinda memiliki empat studio dengan kapasitas mencapai 270 penonton. Sejauh ini Studio 21 belum bisa menayangkan karena masih menunggu kejelasan penolakan dari pemerintah daerah.
Menurut Bono, untuk meyakinkan para pengambil kebijakan, Studio 21 telah memutar film yang dibintangi Rin Sakuragi asal Jepang ini untuk kalangan terbatas yaitu wartawan dan sejumlah polisi menonton.
Tapi pada Kamis (31/12) sekitar pukul 11.00 Wita, Studio 21 secara khusus memutar film garapan Maxima Production ini untuk MUI Samarinda, Front Pembela Islam Samarinda, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Informasi dan Komunikasi, anggota DPRD Kota Samarinda, dan Majelis Langgar. "Agar para pengambil kebijakan ini bisa memberikan penilaian atas film ini," ungkapnya.
Ketua MUI Samarinda Zaini Naim dengan tegas menyatakan penolakan penayangan film ini di Samarinda setelah menyaksikan penayangan film ini. Zaini Naim beralasan dalam film ini sarat dengan adegan porno dan yang lebih parah lagi tidak ada kandungan edukasi dalam film tersebut.
"Alur cerita itu hanya topeng, tapi intinya dalam film ini tak lain adalah seks, porno, dan tidak mendidik," kata Zaini Naim.
"Setelah menyaksikan filmnya, semakin kuat keyakinan saya untuk mengungkapkan film ini tidak layak untuk ditonton," tegasnya.
Atas penolakan MUI ini, Zaini mengaku MUI telah mengirimkan surat secara resmi kepada Dinas Budpar dan Infokom Samarinda. "Tidak ada alasan untuk tidak menolak film ini terlebih bagi generasi muda Samarinda," tandasnya.
Zaini mengungkapkan, sejak awal adegan film Suster Keramas ini adalah adegan syur di mana sepasang suami istri mendokumentasikan film porno. Ditambah lagi berbagai adegan lainnya yang salah seorang aktris menunjukkan tubuhnya dengan vulgar.
Catatan lain MUI Samarinda atas adegan porno adalah saat para mahasiswa mengintip seorang wanita sedang tertidur. Ini diperjelas lagi dengan gambar yang sangat jelas dari penggarapan film ini.
"MUI tidak akan melarang karena bukan kewenangan MUI, tapi jika nanti tetap ditayangkan itu urusan pemerintah. Tapi saya yakin jika tetap ngotot akan ada sanksi sosial dari warga Samarinda atas film ini," ujarnya.
Kepada Pemerintah Kota Samarinda, Zaini meminta agar lebih selektif untuk memberikan izin penayangan film-film di Samarinda. Terlebih lagi untuk film-film yang mengandung porno yang dikhawatirkan akan merusak akhlak generasi penerus.
Kepala Dinas Budpar dan Infokom Samarinda Laksmi Edmon saat dihubungi seusai menonton film ini mengaku memiliki beberapa catatan untuk direkomendasikan kepada produser. Menurutnya, terdapat beberapa adegan yang seharusnya tidak muncul karena sangat bertentangan dengan norma.
"Secara umum tidak ada adegan yang harus dikhawatirkan, tapi ada adegan yang tidak seharusnya ada, misalnya seorang suami menyuruh istrinya untuk bersetubuh dengan orang lain," ujarnya.
Setelah menyaksikan film secara keseluruhan, Laksmi berpendapat tidak ada adegan yang berlebihan dari film ini, baik dari segi pornografi bahkan mistik.
Atas penolakan MUI Samarinda, Laksmi menyatakan tetap akan melakukan pertemuan dengan berbagai pihak untuk mengambil satu keputusan. Menurut dia, pemerintah pusat melalui Lembaga Sensor Indonesia tentu telah mempertimbangkan setiap adegan dalam film ini. Meski demikian, Laksmi mengaku tetap menghargai keputusan MUI Samarinda untuk menolak.
"Kalau porno, sebenarnya banyak tayangan film dan televisi yang jauh lebih vulgar, tapi ini tetap menjadi catatan," ujarnya.
Terlepas dari berbagai polemik penayangan film Suster Keramas ini, Bono Supriyono menyatakan tetap belum bisa menayangkan sebelum ada keputusan tertulis dari pemerintah.
Selain itu, sebagai perpanjangan tangan dari Bioskop Studio 21 pusat, keputusan penayangan sepenuhnya berada di tangan manajemen. "Kalau seandainya ada instruksi dari pusat untuk menayangkan tentu kami tak bisa menolak. Kami di daerah tergantung dari manajemen di pusat," ungkapnya.
FIRMAN HIDAYAT