Menurut dia, sesuai kebijakan Perhutani, pengelolaan lahan hutan oleh masyarakat diperbolehkan berkaitan dengan tujuan swasembada pangan masyarakat. Meski demikian, kawasan hutan Perhutani tidak serta merta menjadi milik masyarakat.
Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Perhutani Probolinggo sebenarnya bermaksud mengembalikan fungsi hutan. Untuk maksud tersebut diterapkan kebijakan yang tidak langsung merugikan petani. Pengelolaan lahan hutan produksi, misalnya, masih diperbolehkan dengan pertimbangan kebutuhan pangan masyarakat petani dan sejumlah alasan lainnya.
Perhutani juga tetap memberikan ijin kepada petani menggarap kawasan hutan melalui program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM). Perhutani pun berkoordinasi dengan para kepala desa di wilayah sekitar hutan.
Dadan menampik tudingan bahwa tanah yang dikelola masyarakat melalui program PHBM merupakan tanah sengketa antara masyarakat sekitar hutan dengan Perhutani.
Kawasan hutan yang ada di sekitar Desa Kloposawit dan Desa Sumberejo, Kecamatan Candipuro, yang diisukan dalam sengketa, menurut Dadan, merupakan kawasan hutan pangkuan desa yang dikelola bersama masyarakat setempat. Lahan itu, merupakan salah satu kawasan hutan dari 97 desa yang ada di wilayah Kabupaten Probolinggo dan Lumajang di bawah pengelolaan KPH Probolinggo.
Pelaksanaan program PHBM ini harus sesuai kontrak kerjasama dengan perhutani dengan sistim bagi hasil, 75 persen - 25 persen. Porsi bagi petani lebih kecil karena hanya menjadi pelaksana penanaman lahan. Sedangkan biaya dan bibit disediakan Perhutani.
Petani penggarap juga tidak diperkenankan menebang kayu hasil hutan sembarangan tanpa seijin Perhutani. ”Meskipun petani program PHBM merasa menanam, tapi jika menebang pohon sembarangan maka akan diproses secara hukum,” tegasnya. DAVID PRIYASIDHARTA.