Komitmen penurunan emisi gas rumah kaca secara agregat (bersama-sama) diusulkan sebesar 40 persen pada 2020 berdasarkan basis tahun 1990. Penurunan ini wajib bagi negara maju yang tergabung dalam Annex I.
Meski komitmen negara maju dipertanyakan, tapi Agus optimis pengurangan emisi gas rumah kaca secara agregat 40 persen akan bisa tercapai. Terlihat dari komitmen Jepang misalnya. "(Jepang) Dulu hanya (komitmen) 8 persen kini naik untuk menurunkan emisi gas rumah kaca hingga 25 persen," urainya. Begitu pula Norwegia dari yang 25-30 persen menjadi 40 persen. Kedua negara tersebut sudah menyatakan secara resmi targetnya di depan forum.
"Negara maju lainnya, agak jauh dibawah," ia menyayangkan. Australia contohnya, bersedia menurunkan emisi menjadi 20 persen dengan basis tahun 2000, Kanada maksimal menurunkan 20 persen dengan basis 2006. Kalau dijumlahkan rata-rata penurunan emisi negara-negara maju tersebut hanya 15-20 persen. "Itu baru separuh dari apa yang diperlukan dunia untuk tidak memanas lebih dari 2 derajat celcius," papar Agus.
Akibatnya, dapat dipastikan pada 2020, suhu bumi akan naik lebih dari dua derajat celsius. "Kami akan menekan negara maju pada pertemuan di Barcelona,agar ada target penurunan emisi" tegas Agus.
Konferensi di Barcelona, Spanyol awal November 2009, merupakan perundingan terakhir menjelang Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, pada bulan Desember mendatang. Konferensi di Kopenhagen mengagendakan mengganti Protokol Kyoto yang akan habis pada 2012. Isi Protokol Kyoto tahun 1997 lalu adalah kewajiban penurunan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara maju sebesar 5,2 persen dibanding tahun 1990.
Amerika Serikat, Ia menambahkan, berjanji akan membawa angka penurunan emisi gas rumah kaca pada perundingan di Kopenhagen. "Kalau Amerika membawa angka, maka banyak negara maju yang lebih berani menaruh angka," ucap Agus. Amerika Serikat merupakan negara yang tidak bersedia menandatangani protokol Kyoto.
Adapun Indonesia, sesuai pernyatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pertemuan G-20 akan menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen. Penurunan ini dari skenario Business As Usual di tahun 2020. "Angka ini yang paling kongkret dibanding negara berkembang lainnya, dengan biaya sendiri pula," ujar Agus. Padahal tidak ada kewajiban dari negara berkembang untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Indonesia, ia menambahkan, kini sudah mengeluarkan uang untuk menurunkan emisi. Besarnya Rp 5- 10 Triliun per tahun. Biaya tersebut antara lain untuk meninggikan jalan, membuat tanggul di pesisir pantai. Jumlah ini, ujar Agus, menunjukkan pembangunan di Indonesia menjadi lebih mahal akibat perubahan iklim. "Departemen Keuangan sudah menghitung," jelasnya.
Pemerintah juga sudah memberlakukan insentif pajak bagi upaya penurunan emisi. Akibatnya, Agus menjelaskan, penerimaan negara berkurang. Pada 2020, Indonesia membutuhkan hingga Rp 70 triliun untuk upaya penurunan emisi. Kalau ada bantuan internasional senilai Rp 60 triliun, lanjutnya, maka penurunan emisi gas rumah kaca di Indonesia bisa mencapai 41 persen.
DIANING SARI