INFO NASIONAL - Dendy Apriandi, Direktur Deregulasi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyatakan laporan Business Ready atau B-Ready yang dirilis Bank Dunia pada September lalu, dapat menjadi acuan untuk memperbaiki hasil yang belum optimal sekaligus memperkuat sinergi bersama semua pihak untuk mendorong investasi di Indonesia.
B-Ready adalah pengganti Ease of Doing Business (EODB). Perbedaannya, EODB mengutamakan peringkat, sedangkan B-Ready lebih kepada hasil skor. Pengukuran skor ini didasarkan pada tiga pilar. Pertama, kualitas regulasi atau regulatory framework. Kedua, pelayanan masyarakat atau public services, dan ketiga adalah efisiensi. Indonesia meraih nilai tertinggi dalam skor kualitas regulasi, 64. Sedangkan dua pilar selanjutnya meraih nilai tak jauh berbeda dengan laporan yang sebelumnya berlaku, EODB.
Nilai ini sepatutnya jadi dasar pembenahan agar arus investasi lebih mudah masuk ke Indonesia. “Sebetulnya survei (B-Ready) ini hanya untuk lebih memotivasi kita apakah kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah sudah sesuai dengan kebutuhan, kebutuhan dari investor tentu,” tutur Dendy dalam diskusi Ngobrol @Tempo di Gedung Tempo, Jakarta, Selasa, 29 Oktober 2024.
Salah satu fokus utama dalam pembenahan adalah sistem Online Single Submission (OSS). Meskipun OSS telah memberikan kemudahan signifikan dalam pengurusan izin berusaha melalui prosedur yang lebih sederhana dan pemangkasan waktu, Dendy mengakui bahwa masukan dari pengusaha dan asosiasi terkait masih diperlukan. Oleh karena itu, upaya perbaikan terus dilakukan untuk memastikan sistem ini semakin efisien dan responsif terhadap kebutuhan para pelaku usaha.
“Jadi kita melakukan reform lagi, harus melakukan perubahan pada PP5 (Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 terkait OSS) yang saat ini sedang proses penyelesaian finalisasinya. Insya Allah nanti dapat memberikan hasil lebih baik lagi,” ucapnya.
Pembenahan regulasi terkait OSS, Dendy melanjutkan, sudah menjadi keniscayaan. OSS merupakan gerbang utama pengusaha memulai bisnis. “Jadi yang juga perlu ditingkatkan adalah tatanan implementasinya sehingga kemudahan betul-betul dirasakan oleh investor,” ucapnya.
Apalagi, nomenklatur BKPM yang kini menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi mempunyai tugas besar mendorong investasi demi terealisasinya target Presiden Prabowo Subianto, yakni pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 8 persen.
“Target itu tantangannya nggak kaleng-kaleng,” kata Dendy. “Berarti yang pertama kita harus bisa keluar dari middle income trap yang sudah hampir 30 tahun kita berada di tahap itu. Untuk keluar dari jebakan itu, salah satu yang harus ditingkatkan adalah investasi.”
Perwakilan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Elim Sritaba, mengapresiasi upaya pemerintah melakukan perbaikan agar lebih mudah berusaha. “Kita tentunya juga sangat mengharapkan perubahan-perubahan menuju ke lebih baik, bisa mengundang investor dan bahkan membantu pengusaha yang ingin mengekspansi bisnisnya,” ujarnya.
Dari sisi Apindo, Elim melanjutkan, juga terus melakukan pembenahan terutama agar pengusaha lebih mengerti bagaimana menjalankan bisnis lestari, atau dikenal juga dengan prinsip Environment, Social, dan Governance (ESG).
“Kalau perusahaan yang korporasi sudah menjalankan, tetapi bagaimana dengan perusahaan level medium? Padahal nantinya mereka akan berkembang menjadi besar,” ujar Elim.
Karena itu, Apindo kerap menyelenggarakan pelatihan atau coaching clinic. Pelatihan ini hasil kolaborasi Apindo bidang pembangunan berkelanjutan (SDGs), bidang investasi, dan bidang usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).
“Kami mengajak UMKM memitigasi risiko-risiko terhadap lingkungan, sosial, dan juga governance dari sebuah usaha. Saya yakin ini perlu sinergi dengan pemerintah, sehingga pemerintah bisa lebih mendengar suara asosiasi seperti Apindo, atau mempersiapkan policy-policy baru yang bisa mendukung pengusaha menjalankan bisnis,” tuturnya.
Kolaborasi, lanjut Elim, menjadi kata kunci dalam pembenahan di berbagai bidang agar lebih mudah menggaet investasi. “Jadi regulatory framework itu tidak berhenti menjadi kebijakan saja, tetapi harus diimplementasi. Bersama-sama dengan pengusaha, Apindo siap membantu pemerintah dalam mencapai terutama target 8 persen,” tutupnya. (*)