TEMPO.CO, Jakarta - Kabar duka kepergian Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk selama-lamanya disampaikan Kanjeng Raden Ayu Nindyokirono atau akrab disapa Norma. Istri terakhir Hamengkubuwono IX ini menyampaikan kabar duka sambil terisak sedih.
“Bapak meninggal,” kata Norma menghubungi Jakarta, pada pukul 07.45 dari Washington, D.C, Amerika Serikat (AS), seperti tercatat dalam Majalah Tempo edisi 8 Oktober 1988.
Kabar duka melalui panggilan telepon tersebut diterima oleh Meity Minarni, kemenakan sekaligus sekretaris pribadi Hamengkubuwono IX. Selain keluarga, berita duka tersebut juga membuat bangsa Indonesia kehilangan sosok tokoh perjuangan kemerdekaan. Hamengkubuwono IX mengembuskan napas terakhirnya pada sore, 2 Oktober 1988.
Sebelumnya, pada 14 September 1988, Hamengkubuwono IX berangkat dari Jakarta ke Tokyo, Jepang bersama Norma. Ia juga sempat mengunjungi Kyoto pada hari berbeda. Kemudian, pada 25 September, ia berangkat ke New York. Namun, selama beberapa hari sebelum ke AS, Hamengkubuwono IX tidak menunjukkan gejala sakit.
“Kondisi beliau (waktu itu) tak ada yang perlu dikhawatirkan,” kata putra tertuanya, Pangeran Mangkubumi yang hadir pada 25 September 2024, di Kyoto.
Kondisi sehat Hamengkubuwono IX sebelum kepergiannya membuat beberapa pihak tidak percaya. Selain sang putra, Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, juga sempat bersama Sultan dalam keadaan sehat pada 21 September. Akibatnya, Emil tidak percaya Hamengkubuwono IX meninggal dunia.
Sebenarnya, saat berada di salah satu hotel di Tokyo, Hamengkubuwono IX terlihat menggunakan kursi roda. Namun, ketika kolega Pangeran Mangkubumi, Sony Suryo, bertanya, Hamengkubuwono IX hanya menjawab “tidak apa-apa, hanya capek saja.” Bahkan, berdasarkan kesaksian Emil Salim, Hamengkubuwono IX menggunakan kursi roda, tetapi saat acara, ia menolak memakainya. Sultan menggunakan kursi roda karena mengaku pernah jatuh di Jakarta sehingga kakinya keseleo.
Lalu, di Washington, Hamengkubuwono IX masih menggunakan kursi roda, tetapi tidak ada tanda sakit. Bahkan, ketika menjalani check up di Rumah Sakit Walter Reed, ia tak menunjukkan persoalan yang perlu ditangani segera. Namun, takdir kematian tidak bisa dihindarkan.
Pada 2 Oktober 1988, Hamengkubuwono IX sempat makan siang di Hunan, Rockville. Lalu, pukul 17.00, di Hotel Embassy Row, ia muntah-muntah. Setelah itu, sekitar 15 menit kemudian, pejabat KBRI memanggil ambulans. Saat itu, Hamengkubuwono IX mengeluh sakit pada dadanya sehingga diberikan pernapasan darurat dan dibawa ke Rumah Sakit George Washington. Namun, pada pukul 17.45, ia dilarikan ke ruang gawat darurat karena mengalami serangan jantung. Sumber lain menyatakan, ia mengalami tekanan darah rendah.
Lalu, pukul 20.05, Hamengkubuwono IX dinyatakan meninggal dunia. Jenazah eks wakil presiden ini disemayamkan di rumah duka, Ives pearson Funeral Home, Virginia. Kabar duka ini disiarkan oleh RRI di Jakarta, pukul 08.30. Namun, 8 tahun sebelumnya, RRI pernah melakukan kesalahan besar karena menyiarkan Hamengkubuwono IX wafat. Akibatnya, kabar duka tersebut sempat tidak dipercayai beberapa pihak. Barulah, pada pukul 09.00 melalui kabar dari KBRI, kepergian Hamengkubuwono IX diyakini seluruh orang.
Mengacu kratonjogja.id, kepergian Sri Sultan Hamengkubuwono IX meninggalkan beberapa peninggalan sejarah, terutama di Yogyakarta. Adapun, peninggalan Hamengkubuwono IX, yaitu Selokan Mataram, mendukung berdirinya Universitas Gadjah Mada (UGM), dan menciptakan tari golek menak, bedhaya sapta, serta bedhaya sanghaskara.
RACHEL FARAHDIBA R | MAJALAH TEMPO
Pilihan Editor: HUT UGM ke-74, Peran Besar Sri Sultan Hamengkubuwono IX Dirikan Universitas Gadjah Mada