TEMPO.CO, Jakarta - Tepat tiga tahun lalu, per Kamis, 30 September 2021, sebanyak 58 pegawai KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi resmi dipecat secara massal buntut tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Peristiwa ini ditandai sebagai titik paling brutal pelemahan terhadap lembaga antirasuah sejak dibentuk setelah runtuhnya Orde Baru.
“Para pegawai melambaikan tangan ke arah gedung Merah Putih. Mereka juga meletakkan kartu identitas pegawai KPK ke lantai,” demikian Koran Tempo terbitan Jumat, 1 Oktober 2021 melaporkan momen-momen terakhir mereka sebagai pegawai KPK.
Sejumlah pihak, termasuk para pegawai KPK yang dipecat, menilai pemecatan mereka sudah diskenariokan. Tudingan itu mencuat lantaran adanya sejumlah kejanggalan terkait TWK yang digelar, berdasarkan temuan Ombudsman RI. Tes TWK disebut hanyalah alibi untuk melengserkan para pegawai yang berintegritas.
Pemecatan ini merupakan puncak dari polemik TWK yang sudah berlangsung sejak April 2021. Pelaksanaan TWK sudah mulai mendapatkan sorotan karena pertanyaan dalam tes itu dianggap tidak relevan dengan pekerjaan di KPK dan diskriminatif. Belakangan diketahui ada 75 pegawai KPK yang dianggap tak lolos dan terancam dipecat.
Mereka lantas melaporkan pelaksanaan tes itu ke Ombudsman RI dan Komnas HAM. Ombudsman RI lalu menyatakan terjadi pelanggaran prosedur berlapis dalam tes. Sementara Komnas HAM menyatakan terjadi 11 jenis pelanggaran HAM dalam tes yang dilaksanakan oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) serta sejumlah lembaga lainnya itu.
Dalam rapat pada 25 Mei 2021, diputuskan bahwa dari 75 pegawai sebanyak 51 orang dipecat lantaran dianggap tak bisa dibina. Sedangkan 24 lainnya, bisa dilantik menjadi ASN asalkan mau ikut pelatihan wawasan kebangsaan. Beberapa di antaranya menolak, sehingga yang dipecat totalnya 57 pegawai.
Dalam perkembangannya, jumlah pegawai yang akan dipecat bertambah satu orang, menjadi 58, yaitu Lakso Anindito. Lakso merupakan pegawai yang mengikuti TWK susulan pada 20 September 2021. Dia baru mengetahui dirinya akan dipecat sehari sebelum surat pemberhentian resmi berlaku pada 30 September 2021.
Tak sedikit yang meragukan TWK sebagai dalih memberhentikan beberapa pegawai KPK, khususnya beberapa penyidik yang justru selama ini menunjukkan integritasmya antara lain Novel Baswedan, Yudi Purnomo Harahap, Aulia Postiera, Lakaso Anindito, Praswad Nugraha, Andre Dedi Nainggolan, Sujanarko, dan Giri Suprapdiono.
Giri Suprapdiono bahkan memberi istilah tentang pemecatan 58 pegawai KPK pada 30 September 2021 dengan G30S TWK. “Hari ini kami dapat SK (Surat keputusan) dari pimpinan KPK. Mereka memecat kami! Berlaku 30 September 2021,” kata Giri lewat akun Twitternya-kini X, Rabu, 15 September 2021. Pegawai KPK tersebut mengizinkan cuitannya dikutip.
Baik KPK maupun BKN tidak pernah menunjukkan kepada publik isi atau jenis pertanyaan yang diajukan sewaktu TWK. Namun, berdasarkan catatan Tempo dari pengakuan beberapa pegawai KPK, pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terkesan ganjil, mulai dari soal hasrat seksual hingga penggunaan doa qunut saat salat.
Beberapa pertanyaan lain yang diajukan adalah “Kenapa belum menikah?”, “Apakah bersedia jadi istri kedua?”, “Apakah membaca doa qunut?”, “Apakah ikut merayakan natal?”, dan “Apakah masih memiliki hasrat seksual?”
Akibat sejumlah pertanyaan nyeleneh itu, banyak pihak yang menduga bahwa pelaksanaan TWK sebagai momentum pemotongan ketajaman KPK. TWK terhadap pegawai KPK dinilai merupakan upaya penyingkiran penyidik-penyidik KPK yang tergolong berintegritas dan tak kenal takut. Dugaan ini juga disampaikan oleh salah satu guru besar di Universitas Indonesia (UI).
“Apakah bisa mengukur esensi rasa kebangsaan seseorang dengan tes dalam hitungan jam?” ujar Sulistyowati Irianto selaku Guru Besar Fakultas Hukum di UI.
Dilansir dari Koran Tempo terbitan Jumat, 1 Oktober 2021, Lakso Anindito turut mengisahkan bagaimana dirinya tidak mengetahui alasannya dipecat dari KPK. Sebab, kata pegawai KPK yang mengikuti TWK susulan ini, tak ada pemberitahuan resmi dari pimpinan lembaga antirasuah itu. Lakso menduga dirinya ikut dipecat karena tak lolos TWK.
Adapun Lakso ikut TWK susulan karena baru menyelesaikan pendidikan magister hukum perdagangan internasional dan Eropa di Lund University, Swedia. Dia mengikuti tes pada 21 dan 22 September lalu. Sepekan setelah tes itu, ia mendapat surat pemecatan. Pihaknya tidak mengetahui lolos tes atau tidak karena tidak ada pengumuman dari KPK.
“Harusnya kan ada pengumuman dulu bahwa tidak memenuhi syarat menjadi aparat sipil negara. Ini langsung ada surat keputusan pemecatan,” katanya kepada Tempo.
Di sisi lain, Lakso yakin pemecatan dirinya berkaitan dengan sikapnya yang tegas menolak revisi Undang- Undang KPK. Indikasi itu tergambar dalam sesi wawancara saat TWK. Sebanyak 80 persen pertanyaan asesor dari TNI menanyakan seputar revisi UU tersebut. Penyidik muda ini juga menganggap surat pemecatan dirinya dibuat tergesa-gesa.
“Karena mendadak, tidak mungkin diselesaikan (membereskan barang-barang di KPK) dalam satu hari,” ujarnya. “Nanti menyusul dibereskan lagi.”
Di hari terakhir berstatus sebagai pegawai KPK, Lakso juga ikut bergabung bersama 57 pegawai KPK yang menerima surat pemecatan lebih dulu. Mereka berkumpul di depan gedung Merah Putih. Di tengah penjagaan kepolisian ini, para bekas pegawai KPK itu menggelar berbagai kegiatan simbolik perpisahan.
Mereka melambaikan tangan ke arah gedung Merah Putih. Mereka juga meletakkan kartu identitas pegawai KPK ke lantai. Lalu mereka berjalan kaki menuju gedung KPK lama atau Anti-Corruption Learning Center KPK yang berada di Jalan Rasuna Said Nomor 1, Jakarta Selatan, atau gedung C1-berjarak sekitar 300 meter dari gedung Merah Putih.
Sebagian pegawai itu ditemani istri mereka, termasuk istri penyidik senior KPK Novel Baswedan, yang turut jadi korban TWK, Rina Emilda. Emil -panggilan Rina Emilda-mengaku sengaja hadir untuk menjemput suaminya yang baru dipecat dari komisi antirasuah. Emil mengatakan, ia akan terus mendukung Novel berjuang melawan korupsi di luar KPK.
“Saya menjemput dengan bangga karena tidak ada kode etik yang dilanggar,” kata Emil.
Selanjutnya: Berjuang Lewat IM57+ Institute