TEMPO.CO, Jakarta - Amnesty International Indonesia kembali menyoroti kasus pembunuhan Munir Said Thalib, aktivis yang kerap memperjuangkan hak asasi manusia. Dua dekade kasus itu berlalu, kasusnya masih buram. Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan bahwa ada keengganan dari negara untuk menuntaskan kasus ini.
Rendahnya kemauan negara untuk membuka kembali kasus Munir, katanya, tercermin dari hilangnya dokumen Tim Pencari Fakta atau TPF. Usman menyebut, peristiwa hilangnya dokumen TPF itu tidak dapat dipercaya dan sulit diterima oleh nalar.
Adapun TPF dibentuk lewat Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004. Pembentukan TPF ini disebut-sebut menjadi langkah penting dalam pengungkapan kasus meninggalnya Munir. Namun, dokumen TPF kasus kematian Munir itu dinyatakan hilang.
"Sayangnya pemerintah tidak pernah mengumumkan laporan TPF, meski Keppres 111/2004 memandatkannya," ujar Usman dalam keterangan tertulis, Jumat, 6 September 2024.
Komisi Informasi Publik Pusat pada Oktober 2016 sempat meminta pemerintah segera mengumumkan laporan itu. Namun, Kementerian Sekretariat Negara mengaku tidak dapat mengumumkan laporan TPF lantaran tidak memiliki dokumennya.
Presiden Joko Widodo sempat memerintahkan Jaksa Agung untuk mencari dokumen TPF yang hilang usai ada desakan dari publik. Namun tidak membuahkan hasil. Januari 2021, Ombudsman mengungkapkan dokumen asli hasil penyelidikan TPF kasus meninggalnya Munir masih belum ditemukan.
Usman juga menyoroti mandeknya langkah pemerintah dalam menuntaskan hasil penyelidikan kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. "Kemampuan aparat penegak hukum kita sebenarnya tidak perlu diragukan lagi," ucapnya.
Akan tetapi, katanya, kemampuan aparat penegak hukum itu terhalang oleh keengganan politik untuk mengambil sejumlah langkah hukum dalam menuntaskan kasus kematian Munir. Meski begitu, menurut dia, masih ada peluang hukum agar pembunuhan terhadap Munir bisa terungkap.
"Yaitu investigasi kepolisian serta peninjauan kembali oleh kejaksaan," kata Usman.
Di sisi lain, ia menghormati pernyataan Komnas HAM ihwal perkembangan proses penyelidikan pro-justisia kasus Munir. Lembaga yang berkutat di bidang hak asasi manusia itu mengklaim bahwa proses penyelidikan kasus Munir masih berjalan dengan pengumpulan alat bukti dan permintaan keterangan saksi.
"Namun, kemauan politik itu memang belum terlihat. Seandainya pun Komnas HAM berhasil menuntaskan penyelidikan, hasilnya masih bergantung dari kemauan politik negara," ujarnya.
Usman juga menyinggung ihwal janji Jokowi untuk menyelesaikan kasus kematian Munir, di awal masa jabatannya sebagai kepala negara. Hingga menjelang lengser usai dua periode memimpin, Usman mengatakan bahwa belum ada langkah nyata dari Jokowi untuk memenuhi janjinya itu.
"Hal ini semakin mempertegas adanya keengganan negara untuk menegakkan keadilan bagi Munir dan keluarganya," ucapnya. Termasuk penuntasan kasus korban pelanggaran HAM lainnya.
Karena itu, Usman mendesak agar negara segera mengambil langkah hukum yang tegas dan transparan dalam mengusut kasus meninggalnya Munir. Dia menyatakan, bahwa pembunuhan Munir bukan kejahatan biasa, melainkan kejahatan luar biasa yang terjadi secara sistematis.
Dia menduga, ada indikasi kuat keterlibatan petinggi negara, khususnya di unsur intelijen yang menyalahgunakan wewenangnya. Tak terkecuali, ujar Usman, melalui orang-orang tertentu di penerbangan milik pemerintah.
Munir dinyatakan meninggal akibat dosis senyawa arsenik ketika perjalanan udaranya dari Jakarta-Singapura-Amsterdam pada 7 September 2004. Tahun ini menandai dua dekade kasus kematian Munir, tanpa terkuak dalang pelakunya.
"20 tahun setelah kematiannya, kita masih menuntut hal yang sama; kebenaran dan keadilan. Negara harus bangun dari tidur panjangnya," kata Usman.