TEMPO.CO, Jakarta - Pemilihan kepala daerah atau Pilkada 2024 melawan kotak kosong ramai dibicarakan hari-hari ini. Fenomena ini mulai muncul pada 2015 dan makin marak terjadi di setiap penyelenggaraan pilkada serentak. Padahal, hadirnya hanya satu pasangan calon atau paslon tunggal dalam pilkada dapat mengancam demokrasi.
Berdasarkan catatan pakar kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, pilkada dengan paslon tunggal terjadi pada pilkada 2015 dengan tiga wilayah dari 269 daerah yang menggelar pemilu. Jumlah itu bertambah pada pilkada serentak 2017 dengan 9 dari 101 daerah.
Di pilkada 2018, jumlahnya kian meningkat sebanyak 16 dari 170 daerah. Kala itu hanya di Kota Makassar di mana calon tunggal kalah oleh kotak kosong. Sementara pada pilkada 2020, terdapat 25 paslon tunggal dari total 270 daerah, dan semuanya berhasil menang.
“Dari 2015 sampai 2020, hanya ada satu calon tunggal yang kalah. Sebanyak 52 calon tunggal lainnya berhasil menang. Ini menunjukkan tingkat kemenangan yang luar biasa,” ungkap Titi dalam sebuah webinar pada Ahad, 4 Agustus 2024.
Bahkan, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, tahun ini kemungkinan ada 34 pilkada yang hanya diikuti oleh satu pasangan calon. Hal itu terjadi apabila aturan syarat mengusung kandidat bagi partai atau gabungan partai masih 20 persen kursi parlemen.
Lantas apa penyebab munculnya fenomena calon tunggal melawan kotak kosong dalam pilkada?
1. Faktor yuridis
Secara yuridis, sebagaimana dinukil dari jurnal Kotak Kosong Memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah oleh Ayu Lestari dkk, munculnya fenomena paslon tunggal melawan kotak kosong bermula ketika Mahkamah Konstitusi atau MK memutuskan daerah yang hanya memiliki satu paslon dapat mengikuti Pilkada serentak.
Ketentuan itu diakomodir KPU dengan mengeluarkan PKPU Nomor 14 Tahun 2015 yang kemudian diperbaiki dalam PKPU Nomor 13 Tahun 2018 tentang Perubahan atas PKPU Nomor 14 Tahun 2015. Sarana yang digunakan adalah surat suara yang memuat dua kolom, satu kolom memuat foto paslon, dan lainnya kolom kosong.
2. Faktor nonyuridis
Ada banyak faktor nonyuridis yang menyebabkan terjadinya fenomena paslon tunggal melawan kotak kosong di Pilkada, sebagaimana disarikan dari jurnal Kotak Kosong Memenangkan Pemilihan Umum Kepala Daerah:
- Proses pencalonan membutuhkan biaya tinggi dan mahar politik
Demokrasi transaksional saat ini tidaklah mudah, karena menuntut biaya yang tinggi dalam proses pencalonan. Selain menuntut biaya pembuatan berbagai properti pengenalan calon melalui spanduk, stiker, dan lain sebagainya, bila tidak mempersiapkan pula mahar politik kepada partai politik, sudahlah pasti seseorang yang berhasrat menjadi kepala daerah tidak akan dapat mencapai impiannya.
Mahar politik seakan menjadi hal yang lumrah, karena dianggap sebagai ongkos perahu yang dalihnya nanti dijadikan sebagai dana pembiayaan untuk menjalankan roda kendaraan partai. Layar perahu kapal partai politik dipastikan tidak akan terkembang, dan kapal partai politik tidak akan berlayar untuk membawa diri sang calon kepala daerah bila mahar politik tidak dibayarkan.
- Lemahnya daya saing bakal calon dalam kompetisi politik
Pemicu adanya calon tunggal di pilkada disebabkan karena calon yang maju memborong dukungan semua partai politik, sehingga menutup peluang bagi putra daerah lain untuk dapat maju menjadi calon. Artinya dengan modal yang besar, calon kepala daerah mengunci kesempatan bagi calon yang lain untuk mendapat dukungan.
Meski hal ini tidak juga dapat disalahkan, karena sejatinya pilkada merupakan pertaruhan untuk dapat menang dan menduduki kekuasaan. Akan tetapi yang salah adalah lemahnya daya saing dan ketidakberanian melakukan kompetisi dalam pertarungan. Lawan dikalahkan sebelum maju dalam pertempuran.
Padahal, pertarungan yang sejati adalah saat ada lawan yang ada di hadapan, sehingga bila kemenangan yang diraih, atau kekalahan yang didapat, semua merupakan wujud ketangguhan dan keberanian yang sebenarnya.
- Kepentingan politik para elite politik
Partai gagal melakukan kaderisasi di satu pihak, dan di lain pihak telah terjadi krisis kepemimpinan di daerah. Alih-alih sebagai bagian dari institusi sosial untuk menyiapkan calon-calon pemimpin, partai terkesan hanya digunakan untuk kepentingan hal-hal yang sifatnya pragmatis oleh para elitenya, yang tak menutup kemungkinan tak lepas pula dari adanya konflik elite.
Senada, menurut pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Caroline Paskarina, penyebab utama dari fenomena ini adalah sistem politik yang tidak berfungsi dengan baik. Dalam demokrasi, transisi kekuasaan dilakukan melalui mekanisme elektoral yang melibatkan partai politik sebagai instrumen utama untuk rekrutmen dan seleksi kepemimpinan, termasuk dalam pilkada.
“Regulasi ambang batas pencalonan yang tinggi juga faktor yang turut berpengaruh,” ujar Caroline kepada Tempo pada Rabu, 7 Agustus 2024.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | MICHELLE GABRIELA | MOHAMMAD HATTA MUARABAGJA | DIANKA RINYA FITRIANSYAH
Pilihan Editor: Fenomena Pilkada Calon Tunggal Lawan Kotak Kosong, Sejak Kapan?