TEMPO.CO, Surabaya - Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyelenggarakan kegiatan pembukaan Sarasehan Nasional Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa di Hotel Wyndham, Surabaya, Jawa Timur, Selasa, 20 Agustus 2024.
Mengambil tema ‘Transformasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa untuk Meningkatkan Ketahanan Budaya, Sosial dan Ekologi Secara Berkelanjutan,’ acara yang berlangsung selama tiga hari itu diikuti oleh ratusan tokoh penghayat kepercayaan dan masyarakat adat dari Jawa maupun luar Jawa.
Dalam sambutan pembukaan secara virtual, Dirjen Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid mengatakan bahwa Sarasehan Nasional tersebut merupakan momen istimewa untuk merumuskan langkah strategis menghadapi tantangan ke depan, baik sebagai individu maupun komunitas.
Menurut Hilmar para penghayat memiliki nilai-nilai luhur yang diyakini untuk kebaikan seluruh masyarakat. “Nilai yang dapat menjadi jawaban dari berbagai tantangan dalam menjaga ketahanan sosial secara global. Ajarannya dapat memberikan kontribusi nyata untuk mewujudkan ketahanan budaya, sosial dan lingkungan,” tutur Hilmar.
Seusai pembukaan dilanjutkan diskusi panel dengan pembicara Pamong Budaya Ahli Utama Kemendikbudristek Sri Hartini, tokoh Sapto Darmo Naen Suryono, tokoh penghayat kepercayaan Etiko Kusjatmiko dan tokoh masyarakat adat Sumba Timur Umbu Remi Deta.
Berbagai persoalan mengemuka dalam diskusi tersebut. Menurut Sri Hartini, dari hasil pendataan terakhir, jumlah organisasi kelompok penghayat makin lama makin menurun. Pada era ’80 an, kata dia, jumlahnya masih 300-an lebih. Namun pada 1985 menurun jadi 246. Jumlah itu kian menyusut saat didata pada 2016 karena tinggal 194.
Selanjutnya berturut-turut merosot jadi 189, 188, 178 dan terakhir 153 pada 2024. Sri mengharapkan kelompok penghayat menjaga eksistensinya dengan melakukan regenerasi anggota. Ia meminta kelompok penghayat tak khawatir terhadap keberlanjutan hidupnya karena terdapat 18 payung hukum yang melindungi keberadaan mereka.
Pemerintah pun, tutur Sri, juga memberikan akses pelayanan, termasuk administrasi kependudukan (adminduk) terhadap kaum penghayat. Namun Sri menyayangkan kurang terbukanya kelompok penghayat terhadap data-data mereka sendiri. “Data ini penting untuk menjaga eksistensi Bapak dan Ibu, menjaga ketahanan budaya, dan perlunya advokasi bila ada masalah,” kata Sri.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat (KMA) Ditjen Kebudayaan Kemendikbudristek Sjamsul Hadi menuturkan, berkaitan dengan akses layanan terhadap kelompok penghayat, semuanya telah tersedia dan berpulang pada mereka sendiri untuk memanfaatkannya.
Sjamsul tak memungkiri bahwa sejarah perjalanan kelompok penghayat yang dulunya pernah mendapatkan diskriminasi turut mempengaruhi gerak langkah mereka. “Namun dengan adanya putusan MK No. 97 sudah jelas bahwa pemerintah memberikan ruang dan hak yang sama berkaitan dengan identitasnya. Lha sekarang (kebebasan) sudah dibuka, tapi kenapa KTP penghayat kepercayaan malah menyusut dari 114 ribu tinggal 66 ribu,” kata Sjamsul kepada Tempo.
Menurut dia Direktorat KMA hanya memfasilitasi pertemuan besar ini. Adapun rumusan-rumusan hasil sarasehan tergantung dari hasil diskusi mereka. Meski demikian Sjamsul menekankan bahwa Direktorat KMA mengharapkan ada rumusan soal kemandirian organisasi serta sikap terbuka mereka sehingga pemerintah dapat menyusun data konkret berapa sebenarnya jumlah warga penghayat kepercayaan.
“Data ini penting karena untuk melayani kebutuhan-kebutuhan mereka. Nah biarlah para kadang (para sahabat) penghayat mendiskusikan hal-hal tersebut,” tutur Sjamsul.
Pilihan Editor: Cerita Penghayat Kepercayaan Dapat KTP Baru: Daripada Dicap Islam KTP, Mending PD