TEMPO.CO, Jakarta - Airlangga Hartarto mengumumkan pengunduran dirinya sebagai Ketua Umum Partai Golkar. Dalam keterangan video yang disampaikan Airlangga, keputusan pengunduran diri itu telah dibuat sejak Sabtu, 10 Agustus 2024.
"Airlangga mundur," kata seorang pengurus teras partai beringin kepada Tempo, Ahad, 11 Agustus 2024.
Ia menuturkan partainya bakal menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) pada 25 Agustus mendatang. Partai Golkar, kata dia, bakal menyiapkan Agus Gumiwang sebagai Plt Ketua Umum Golkar hingga proses pemilihan pucuk pimpinan tertinggi partai itu. "Rencananya Munaslub akan digelar 25 Agustus. Nanti Agus Gumiwang menjadi Plt Ketum Golkar hingga Munaslub Golkar digelar," ujarnya.
Menurut dia, kader Golkar yang digadang-gadang bakal menjadi calon kuat untuk menggantikan Airlangga adalah Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Dua orang elit Golkar lain membenarkan informasi soal Airlangga mundur.
Sejarah Partai Golkar
Dilansir dari partaigolkar.com, Partai Golongan Karya atau yang lebih dikenal dengan singkatan Golkar adalah salah satu partai politik yang paling berpengaruh dalam sejarah politik Indonesia. Awal mula pembentukan Golkar tidak lepas dari gagasan tiga tokoh besar nasional, yakni Soekarno, Soepomo, dan Ki Hadjar Dewantara.
Ketiganya memperkenalkan konsep integralistik-kolektivistis yang dimulai sejak 1940. Gagasan ini pertama kali diwujudkan dalam bentuk Golongan Fungsional yang kemudian diubah menjadi Golongan Karya pada 1959.
Pada masa itu, Golongan Karya tidak dibentuk sebagai partai politik, melainkan sebagai perwakilan dari golongan-golongan di tengah masyarakat. Gagasan ini didasarkan pada pemikiran bahwa demokrasi Indonesia harus berbeda dengan konsep demokrasi di Barat.
Ketiga tokoh tersebut, terutama Sukarno, percaya bahwa demokrasi di Indonesia haruslah mengedepankan musyawarah dan mufakat, serta mengakomodasi berbagai golongan dalam masyarakat.
Pada dekade 1950-an, Indonesia mulai menghadapi dinamika politik yang kompleks dengan munculnya berbagai partai politik yang merepresentasikan kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam situasi ini, Golkar didirikan sebagai bentuk alternatif dalam sistem perwakilan.
Sebagai organisasi yang terdiri dari berbagai golongan fungsional, Golkar diharapkan mampu merepresentasikan keterwakilan kolektif dari berbagai kelompok dalam masyarakat Indonesia. Konsep awal Golkar adalah untuk menjadi lembaga representatif yang mengedepankan persatuan nasional dan menghindari konflik antar golongan.
Golkar dirancang untuk menumbuhkan kerja sama antar golongan dengan mengesampingkan perbedaan ideologi. Hal ini sejalan dengan visi Sukarno yang menginginkan Indonesia yang bersatu tanpa terjebak dalam perpecahan ideologis.
Perubahan besar terjadi pada Golkar ketika organisasi ini berubah dari sebuah lembaga representatif menjadi partai politik penuh. Pada 1964, dalam masa-masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno, Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) dibentuk.
Perubahan ini terjadi dalam konteks politik Indonesia yang sedang bergolak, terutama dengan semakin meningkatnya pengaruh Partai Komunis Indonesia (PKI). Golkar, yang awalnya tidak dirancang sebagai partai politik, mengalami transformasi menjadi alat politik yang digunakan oleh Angkatan Darat untuk melawan pengaruh PKI.
Di bawah arahan Jenderal TNI (Purn) Abdul Haris Nasution dan dukungan Soeharto, Golkar mulai terlibat dalam dinamika politik nasional dengan tujuan mengamankan kepentingan militer dan mencegah dominasi komunis di Indonesia.
Setelah runtuhnya pemerintahan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden, Golkar menjadi partai politik yang dominan dalam era Orde Baru. Soeharto, yang juga salah satu pendiri Golkar, menjadikan partai ini sebagai tulang punggung kekuasaannya.
Pada pemilihan umum pertama di era Orde Baru pada tanggal 3 Juli 1971, Golkar berhasil memenangkan pemilu dengan perolehan suara yang sangat signifikan, yaitu 62,8%. Kemenangan ini membuat Golkar mendapatkan 236 dari 360 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Kemenangan Golkar pada pemilu 1971 menandai dimulainya dominasi partai ini dalam politik Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Golkar tidak hanya menguasai parlemen, tetapi juga menempatkan kader-kadernya di berbagai posisi penting dalam pemerintahan, mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
Selama era Orde Baru, Golkar berperan sebagai alat politik yang digunakan untuk mengontrol kehidupan politik dan pemerintahan di Indonesia. Dalam sistem politik yang sentralistik di bawah kepemimpinan Soeharto, Golkar berfungsi sebagai sarana untuk mengonsolidasikan kekuasaan, mengendalikan oposisi, dan mempertahankan stabilitas politik.
Kemudian, runtuhnya Orde Baru pada 1998 membawa perubahan besar dalam politik Indonesia, termasuk bagi Partai Golkar. Era reformasi yang dimulai setelah jatuhnya Soeharto memaksa Golkar untuk beradaptasi dengan situasi politik yang lebih terbuka dan kompetitif. Golkar yang sebelumnya menjadi partai yang sangat dominan, harus berhadapan dengan munculnya partai-partai politik baru yang membawa semangat reformasi dan perubahan.
Dalam pemilihan umum pertama setelah reformasi pada 1999, Golkar tidak lagi menjadi partai dominan seperti sebelumnya. Meskipun demikian, Golkar tetap berhasil mempertahankan posisinya sebagai salah satu partai besar di Indonesia.
MICHELLE GABRIELA | AISYAH AMIRA | HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan Editor: Ketua Umum Golkar Airlangga Hartarto Mundur, Berikut Ketum Golkar dari Masa ke Masa