TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Bom Bali I pada 12 Oktober 2002 yang telah merenggut 203 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, menghantui hidup Ni Luh Erniati. Seorang korban jiwa di antaranya adalah Gede Badrawan, suaminya. Badrawan, juga meninggalkan kedua anaknya yang saat itu baru berusia sembilan tahun dan satu setengah tahun.
Bom Bali I meledak di beberapa titik, dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali pada pukul 23.05 WITA. Selang 10 menit, tepatnya pukul 23.15 WITA, ledakan bom berikutnya terjadi di Renon, dekat Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat.
Rangkaian peristiwa bom Bali ini merupakan pengeboman pertama sehingga dinamakan Bom Bali I yang kemudian disusul dengan bom Bali dengan skala lebih kecil pada 2005.
Ni Luh Erniati, 53 tahun, menerima wawancara Tempo.co, di tempat usaha konveksi miliknya, Adopta Bali Kini, sebuah usaha konveksi yang ia kelola di Denpasar, Bali pada Kamis, 8 Agustus 2024. Ia membongkar kembali ingatan tentang masa-masa sulit yang dilewati bersama kedua anaknya pasca sang suami tercatat menjadi salah satu dari 203 korban jiwa Bom Bali I, sampai akhirnya bisa kembali melanjutkan hidup sembari memikul kenangan pahit itu sepanjang hidupnya.
Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Bali itu pun mengisahkan berdirinya YPI ini untuk sama-sama memulihkan trauma dan luka para penyintas korban aksi terorisme di berbagai daerah.
Apa yang terjadi saat malam Bom Bali I itu?
Saat itu, suami saya ada di Sari Club, beliau sedang kerja malam waktu itu, dan saya ada di kos-kosan bersama anak-anak. Waktu itu, kami tinggal di daerah Tuban. Jadi nggak begitu jauh dari Sari Club. Teman-teman kosan waktu itu, mereka yang sedang ada di luar pulang semua, dari pembicaraan merekalah saya bisa dengar bahwa di Sari Club itu ada bom. Tapi saat itu saya nggak percaya bahwa itu bom, ah itu paling gardu listrik yang meledak di luar sana, dan ternyata bapaknya anak-anak itu nggak pulang sampai pagi.
Apa yang Anda lakukan?
Anak-anak saat itu saya tinggal di kos-kosan, dan mereka masih sangat kecil, jadi belum tahu apa-apa. Anak yang pertama umur sembilan tahun dan yang kedua satu setengah tahun, jadi anak yang kedua nggak mengerti keadaan sama sekali.
Saya ke rumah sakit saat itu, saya berusaha cari informasi, saya cari tahu apakah ada nama almarhum di sana tercatat sebagai korban, tapi nggak saya temukan, seharian saya di sana. Saya nggak bisa menemukan informasi apapun.
Kapan berhasil teridentifikasi?
Saya dapat informasi yang jelas tentang almarhum itu, setelah empat bulan. Jadi, selama empat bulan itu saya menanti. Menanti kalau tiba-tiba suami saya pulang. Setelah empat bulan berjalan, saya sudah di kampung karena memutuskan balik lagi ke kampung.
Dokter forensiknya telepon saya, di situ dokternya bilang, ‘bu suami ibu telah teridentifikasi,’ dan saya cuma bisa nanya satu, "Dok gimana kondisinya?", saya nggak kebayang kan, nggak kebayang sama sekali, dan dokter jawab, "Itu tujuh puluh persen (yang tersisa)". Jadi bisa nggak dibayangkan tujuh puluh persen itu, tanpa kepala, tanpa kaki, tanpa tangan. Terus akhirnya saya datang ke Rumah Sakit Sanglah, saya lihat dan itu yang saya lihat. Sesuai adat kita di Bali, setelah ketemu akhirnya keluarga memutuskan untuk membuat upacara.
Apa dampak yang dirasakan keluarga?
Banyak hal, tidak hanya psikis dan ekonomi tapi juga image, setelah kejadian itu, saya harus menyandang status janda, kita tahu semua, status janda itu dipandang sebelah mata, itu benar-benar menyakitkan buat saya, dan itu lama bisa saya terima.
Jadi banyak, tidak hanya kehilangan suami, kehilangan tulang punggung keluarga, dihadapkan dengan masalah sosial, masyarakat, dan bagaimana caranya saya menyampaikan tentang apa yang terjadi pada bapaknya pada anak-anak, karena saat itu mereka masih kecil-kecil.
Saya waktu itu trauma berat, nangis terus, ngambang-lah rasanya, anak-anak juga begitu cuma mereka diam. Yang pertama anaknya diam jadi semakin diam, anak yang kedua dia hiperaktif dia rindu bermain bersama seorang bapak. Saya juga harus ke konseling, ke psikiater ke psikolog, dan harus minum obat beberapa lama, anak-anak juga saya konselingin.
Dampaknya keras banget. Anak saya yang pertama itu, kan dia sekolah di Kuta, dia dapat bintang kelas, tapi setelah kejadian itu, ketika saya ajak pindah ke sini ternyata dia itu nggak bisa nulis, nggak bisa baca.
Bagaimana keluarga melanjutkan hidup?
Untuk bisa menerima situasi itu, itu lama banget, perlu waktu yang panjang, tidak hanya satu bulan dua bulan, tapi bertahun-tahun. Akhirnya saya kembali ke Denpasar, karena harus kerja, karena di kampung nggak tahu harus ngapain.
Akhirnya saya memulai kerja bersama teman-teman yang juga sama nasibnya dengan saya, belajar menjahit. Belajar jahit yang pertama itu, belajar jahit tas yang lurus-lurus aja, itu masih nangis-nangis loh. Sampai akhirnya itu saya geluti terus, untuk mendapatkan penghasilan. Sampai sekarang.
Bagaimana kondisi anak-anak saat ini?
Kalau kondisi anak-anak baik, sekarang lagi kuliah, yang satunya di Manajemen sebelumnya D3 Analisis Kesehatan, dan yang adiknya S1 Akuntansi di Warmadewa
Membuka usaha konveksi, bagaimana awal mula konveksi Adopta Bali Kini terbentuk?
Dari 2003 bersama teman-teman sebenarnya, awalnya, bersama teman-teman ada lima orang jadi dibantu sama orang Australia untuk kita dapat tempat. Saat itu, dikontrakkan tempat untuk beberapa tahun di Pemogan, didatangkan guru, ngajarin jahit, ada beberapa mesin juga dibelikan. Kami belajar bersama-sama dari situ, kemudian pemasarannya di bantu, uangnya diberikan kepada kami. Modal itu kemudian kami kumpulkan, sampai beberapa tahun jalan, akhirnya saya bisa membuat usaha sendiri.
Bagaimana perkembangan usaha saat ini?
Konveksi berjalan cukup bagus hingga sekarang, dari sini juga saya bisa membiayai anak-anak sekolah. Produksinya ada baju, ada dress ada t-shrit polo, apa aja semua orang mau order, diusahakan. Sudah sampai Australia, mereka itu order-nya dari email.
Apa kegiatan rutin saat peringatan Bom Bali I?
Setiap tahun kami datang ke sana (lokasi ledakan), kebetulan saya jadi Ketua Umum Yayasan Penyintas Indonesia (YPI) Bali. Yayasan ini menaungi beberapa elemen yang berasal dari beberapa daerah seperti Bali, Jakarta, Surabaya, ada Solo juga, mereka semua korban-korban terorisme. Untuk di Bali, kami melakukan peringatan tiap tahun, kami datang bersama, doa bersama.
Bagaimana Terbentuknya Yayasan Penyinas Indonesia?
Itu awalnya kita kan dulu ngikutin konseling, ketemu temen-temen korban semua disana, nah dari situ kepikiran, kan banyak orang yang waktu itu mau cari kita ya korban, tapi susah, akhirnya kita berlima, ada saya, ada Ibu Eka, ada Pak Wayan ada Pak Zoni, dan satu lagi Ibu Leni namanya. Kita sepakat untuk membuat satu wadah, jadi itu berkumpul, teman-teman yang tidak langsung, jadi yang suaminya meninggal juga ada yang istrinya yang meninggal.
Awalnya kita itu cuma 22 orang, terus kita kasih nama Isana Dewata, artinya Istri Suami dan Anak Dewata. Seiring berjalannya waktu ada beberapa teman bilang, kenapa nggak di ajak temen-teman yang korban langsungnya juga, akhirnya dari sana kami berusaha untuk cari kontak-kontak mereka.
Nah ketemulah. pada 2016 kami ketemu sama teman-teman korban di Jakarta. Peringatan di Bali mereka datang ke Bali, dari situ juga kepikiran kenapa kami nggak buat wadah yang lebih besar tidak hanya mencakup Bali, akhirnya sepakat untuk buat Yayasan Penyintas Indonesia. Jadi elemennya ada beberapa elemen sekarang YPI-nya di Jakarta itu ada korban dan penyintas bom Sarinah (Jalan MH Thamrin), bom Kampung Melayu, bom JW Marriot.
Kegiatan apa yang dilakukan YPI?
Kami penyintas juga tidak diam, tidak hanya pemerintah yang berusaha menahan agar tidak terjadi (aksi terorisme), tapi penyintas juga. Kami melakukan kampanye perdamaian bekerja sama dengan Aliansi Indonesia Damai (AIDA) di Jakarta. Kami datang ke sekolah-sekolah, bertemu dengan mantan pelaku untuk sebuah perdamaian.
Apa harapan Anda saat ini?
Harapan kami, agar pemerintah memperhatikan penyintas itu tidak hanya sampai di sini (pemberian kompensasi), artinya berkelanjutanlah terutama untuk medis, terutama untuk teman-teman penyintas itu masih banyak yang butuh perawatan bahkan ada yang sampai seumur hidup. Harapannya, pemerintah lebih intens mengawasi terus, peka terhadap situasi, kan dulu terjadi kenapa karena nggak peka, padahal saat itu sudah ada isu-isu, makanya jangan sampai terjadi lagi.
Pilihan Editor: Wawancara Keluarga Korban Bom Bali: 4 Bulan Menanti Kabar Suami yang Jadi Korban, Tak Mudah Pulih dari Trauma