TEMPO.CO, Jakarta - Sudah tiga dekade lamanya Aliansi Jurnalis Independen atau AJI berdiri. Hari ini 30 tahun lalu, tepat sejak 7 Agustus 1994 lalu, sekitar seratus jurnalis dan kolumnis menandatangani Deklarasi Sirnagalih di di Bogor.
Lahirnya AJI sebagai bentuk perlawanan akibat kungkungan pemerintah Orde Baru yang membredel media. Salah Satu pemicunya adalah pembredelan Majalah Tempo, Editor dan Tabloid Detik.
Pembredelan itu bermula ketika Majalah Tempo menerbitkan berita tentang dugaan korupsi dalam pembelian 29 kapal perang bekas dari Jerman Timur pada 7 Juni 1994. Sebuah ide yang diprakarsai oleh Menteri Riset dan Teknologi saat itu, B.J. Habibie. Berita ini menimbulkan kegemparan hingga Presiden Soeharto merespons dengan memerintahkan pembredelan Tempo pada 9 Juni 1994.
Tindakan ini memicu berbagai reaksi dari berbagai kalangan, termasuk penyair terkenal W.S. Rendra Ia memprotes di depan Departemen Penerangan dan akhirnya ditangkap pada 27 Juni 1994. Solidaritas terhadap Tempo, Editor dan Tabloid Detik terus berlanjut.
Akhirnya sejumlah jurnalis untuk berkumpul di Bogor untuk mendeklarasikan Deklarasi Sirnagalih. Deklarasi ini menuntut hak publik atas informasi, menentang pengekangan pers dan menolak wadah tunggal bagi jurnalis, sekaligus mengumumkan berdirinya AJI.
Nama AJI sendiri diusulkan oleh Dhia Prekasha Yoedha karena terdengar singkat, bagus, dan mudah diingat. Nama AJI juga memiliki makna dalam mitologi Jawa, yakni ilmu atau kesaktian tertentu. Stanley Adi Prasetyo menyarankan penggunaan kata "Aliansi" untuk menghormati komunitas-komunitas jurnalis yang ada.
Dilansir dari laman aji.or.id semasa Orde Baru, AJI beroperasi secara bawah tanah karena termasuk dalam daftar organisasi terlarang. Dengan jumlah 200 anggota, AJI tetap berjuang melalui demonstrasi dan publikasi majalah alternatif Independen, yang kemudian menjadi Suara Independen.
Risiko perjuangan AJI mengantarkan tiga anggotanya, Ahmad Taufik, Eko Maryadi, dan Danang Kukuh Wardoyo ke bui pada Maret 1995.
AJI mendapatkan pengakuan dari berbagai organisasi internasional seperti International Federation of Journalist (IFJ) dan Article XIX. Pada 18 Oktober 1995, AJI resmi menjadi anggota IFJ, organisasi jurnalis terbesar di dunia. Beberapa aktivis AJI juga mendapatkan penghargaan internasional atas dedikasinya dalam memperjuangkan kebebasan pers.
Setelah jatuhnya Soeharto pada 1998, pers di Indonesia mulai menikmati kebebasan. AJI terus berjuang untuk hak-hak pekerja pers dan melawan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Pada tahun 2000 jumlah penerbitan baru meningkat pesat. meskipun banyak yang akhirnya tutup, meninggalkan masalah perburuhan yang juga diadvokasi oleh AJI.
Namun, kekerasan terhadap jurnalis meningkat setelah reformasi. Pada 1998, tercatat 42 kasus kekerasan terhadap jurnalis, meningkat menjadi 74 kasus pada 1999, dan 115 kasus pada 2000. Dalam laporan akhir tahun 2021, AJI mencatat ada 43 kasus kekerasan terhadap jurnalis di Indonesia, didominasi oleh teror dan intimidasi (9 kasus), kekerasan fisik (7 kasus), dan pelarangan liputan (7 kasus).
Karena banyaknya jurnalis yang bergabung dan meningkatnya kasus kekerasan, berdasarkan keputusan Kongres AJI pada 2003, ditetapkan bahwa AJI berfungsi sebagai perkumpulan. AJI Kota di berbagai daerah memiliki otonomi sendiri dalam mengatur kegiatannya.
AJI terus berjuang untuk kebebasan pers dan hak-hak jurnalis di Indonesia. Bagi jurnalis yang ingin bergabung, mereka dapat menghubungi sekretariat AJI Indonesia, AJI Kota, atau perwakilan AJI di luar negeri.
KARUNIA PUTRI | ANANDA BINTANG | ALIANSI JURNALIS INDEPENDEN
Pilihan editor: KKJ Minta Polri dan TNI Usut Pembakaran Rumah yang Sebabkan Jurnalis dan Keluarganya Meninggal di Karo