TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik Pratama, menilai rancangan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) mengenai kampanye dan dana kampanye yang dilakukan uji publik pada Jumat, 2 Agustus lalu cenderung keliru.
Alasannya, kata dia, alih-alih mempertahankan ketentuan pemberian sanksi bagi pasangan calon yang tidak menyampaikan pelaporan dana kampanye, KPU justru memberikan toleransi yang dapat merusak integritas pemilu.
"Pelaporan dana kampanye menjadi instrumen penting yang keberadaannya tidak dapat dikompromi," kata Heroik dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Rabu, 7 Agustus 2024.
Merujuk pada Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2017, khususnya pada Pasal 54, telah diatur mengenai pemberian sanksi diskualifikasi atau pembatalan terhadap pasangan calon yang tidak menyampaikan LPPDK sampai batas waktu yang telah ditentukan.
Masalahnya, kata Heroik, rancangan PKPU kampanye terbaru, khususnya pada Pasal 65 Ayat (4) diatur pemberian sanksi bagi calon yang tidak menyampaikan LPPDK sesuai batas waktu yang ditentukan, ialah tidak ditetapkan sebagai pasangan calon terpilih hingga LPPDK disampaikan.
Pun, Ia melanjutkan, rancangan PKPU terbaru juga hanya memberikan sanksi administrasi bagi pasangan calon yang tidak menyampaikan LADK sesuai batas waktu yang ditentukan.
Sanksi tersebut: peringatan tertulis dan dilarang untuk melakukan kegiatan kampanye sebagaimana diatur pada Pasal 65 Ayat (1), (2), dan (3). Akan tetapi, jika setelah tujuh hari pasangan calon tidak kunjung menyampaikan LADK setelah menerima sanksi administrasi. Maka, dikenakan sanksi larangan kampanye.
"Ini tidak sejalan dengan prinsip integritas pemilu yang transparan dan akuntabel." katanya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Seira Tamara, mengatakan rencana penghapusan ketentuan diskualifikasi ini juga menunjukan bahwa KPU telah mengabaikan kepentingan pemilih untuk mendapatkan informasi yang jelas mengenai dana kampanye dan lebih berpihak pada kepentingan peserta pemilu.
Dalam rancangan PKPU dana kampanye yang baru, kata dia, bukannya mendapat diskualifikasi, pasangan calon yang tidak melaporkan LPPDK justru tetap bisa terpilih, hanya saja penetapannya akan ditunda hingga yang bersangkutan menyampaikan LPPDK.
"Ini telah menunjukan adanya toleransi berlebih yang diberikan KPU terhadap pasangan calon yang minim integritas," kata Seira.
Begitu juga dengan pernyataan KPU yang menyebut ketentuan ini diambil lantaran bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2022, kata dia, adalah hal yang keliru.
"Sebagai penyelenggara, ini menunjukan KPU tidak menganggap pelaporan dana kampanye sebagai hal yang krusial dan bermanfaat bagi pemilih," ujar dia.
Seira menjelaskan, laporan dana kampanye dalam bentuk LADK, LPSDK, serta LPPDK adalah hal yang amat penting bagi pemilih.
Sebab, pada laporan tersebut lah pemilih mengetahui siapa saja pihak penyumbang pada pasangan calon, serta untuk apa sumbangan tersebut digunakan. Dan yang terpenting, hal ini penting untuk menjaga integritas pemilu.
"Pelaporan dana kampanye ini misalnya, dapat meminimalisir masuknya hasil tindak pidana termasuk korupsi dalam pusaran pendanaan," ucap Seira.
Tempo berupaya meminta penjelasan Ketua KPU Mochammad Afifuddin dan Komisioner KPU Idham Holik soal hal tersebut. Namun hingga berita ini diunggah, keduanya belum merespons pesan yang dikirimkan.
Sebelumnya pada Jumat 2 Agustus lalu, Idham menjelaskan, aturan sanksi diskualifikasi karena tak melapor LPPDK tidak diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Oleh karena itu, KPU tidak bisa membuat aturan teknis yang bertentangan dengan aturan di atasnya.
Pilihan Editor: ICW Sebut Toleransi KPU ihwal Pelaporan Dana Kampanye Buka Peluang Korupsi Paslon