TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR RI, Bambang Soesatyo alias Bamsoet merespons revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden atau RUU Wantimpres, yang akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung atau DPA. Bamsoet menilai, perubahan itu tidak turut serta mengubah kewenangan lembaga tersebut.
"Kalau Wantimpres itu berdasarkan undang-undang, maka perubahannya dengan undang-undang," katanya usai kunjungan kebangsaan ke Partai Demokrat, Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu tidak mempermasalahkan perubahan Wantimpres menjadi DPA. Sebab, ujarnya, perubahan itu hanya berlaku untuk nomenklatur.
Sementara untuk tugas dan fungsi lembaga, ia mengatakan tidak akan mengalami perubahan. "Perubahan nomenklatur tidak mengubah kewenangan lembaga dari Wantimpres ke Dewan Pertimbangan Agung," ucapnya.
Dia mengakui menyetujui perubahan nomenklatur tersebut. Namun, Bamsoet menyerahkan rencana perubahan Wantimpres menjadi DPA itu kepada para pimpinan partai politik dan peraturan yang berlaku.
"Kita kembalikan kepada para pimpinan partai, ada sistem, yaitu diputuskan di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)," ucapnya.
Sebelumnya, DPR resmi menyetujui revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi rancangan undang-undang usul inisiatif DPR. Adapun revisi aturan itu akan mengubah UU Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Kesepakatan itu diperoleh saat DPR menggelar rapat paripurna yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR Lodewijk Freidrich Paulus di Senayan, Kamis, 11 Juli 2024.
Dalam draf revisi Undang-Undang Dewan Pertimbangan Presiden akan memperbolehkan anggota partai politik untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Di samping menghapus larangan partai politik dan ormas, Badan Legislasi juga sepakat mengubah kedudukannya dari lembaga pemerintahan menjadi lembaga negara.
Revisi juga mengubah pasal yang membatasi anggota dari sembilan orang menjadi tidak terbatas sesuai keinginan presiden. Proses penyusunan revisi UU Wantimpres terbilang kilat. Draf revisi ini disahkan di Baleg hanya dua kali rapat yang digelar 8-9 Juli 2023. Semua fraksi partai politik sepakat revisi Undang-Undang Wantimpres dibawa ke rapat paripurna untuk disetujui menjadi usulan inisiatif DPR.
Ketua DPR Puan Maharani memperingatkan agar revisi Undang-undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden atau Wantimpres tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 maupun peraturan perundang-undangan lainnya.
Adapun DPR telah resmi mengusulkan revisi aturan ini. Nantinya, Wantimpres akan diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). "Jangan sampai hal yang akan kami bahas ini menyalahi UU apalagi UUD," kata Puan saat menggelar konferensi pers di Gedung Nusantara, Kamis, 11 Juli 2024.
Lebih lanjut, Puan mengklaim bahwa revisi UU Wantimpres ditujukan untuk memperkuat kedudukan dan fungsi dewan pertimbangan yang bertugas membantu presiden. Dia juga belum bisa memastikan nama atau status dewan pertimbangan itu secara pasti.
"Pembahasannya akan kami kaji. Jangan sampai menyalahi aturan perundangan yang berlaku," tuturnya.
Kritik Akademisi
Peneliti Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, mengkritik gagasan perubahan Wantimpres menjadi DPA. Dia menilai ide tersebut tidak sesuai dengan konsep ketatanegaraan.
"Enggak masuk akal desain-desain seperti itu," kata Herdiansyah kepada Tempo melalui sambungan telepon, Selasa, 9 Juli 2024.
Berdasarkan Pasal 2 draf revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden yang dilihat Tempo, Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Herdiansyah menjelaskan bahwa seharusnya dewan pertimbangan yang membantu presiden masuk dalam kategori lembaga pemerintah. Menurut dia, mengklasifikasikan dewan pertimbangan tersebut sebagai lembaga negara merupakan langkah yang keliru.
"Itu salah kalau disebut sebagai lembaga negara. Di mana yang mengatakan itu lembaga negara?" ujarnya.
Secara teori, jika dewan pertimbangan masuk dalam kategori lembaga pemerintah, maka ia berada di dalam cabang kekuasaan eksekutif dan posisinya di bawah presiden. Di sisi lain, jika dewan pertimbangan diklasifikasikan sebagai lembaga negara, maka ia berdiri sendiri dan memiliki kedudukan yang sama dengan presiden.
Lebih lanjut, Herdiansyah juga mengatakan bahwa pembentukan DPA tidak memiliki dasar hukum yang kuat di dalam konstitusi meski dahulu lembaga itu pernah diatur secara khusus dalam Bab IV UUD 1945.
"Setelah reformasi, lembaga itu ditarik (pemerintah) dan berubah menjadi Wantimpres," katanya.
Pilihan Editor: Pro-Kontra Soal Revisi UU Wantimpres yang akan Aktifkan Lagi Dewan Pertimbangan Agung