INFO NASIONAL – Papan bertuliskan Omo Duanda Solagöniha terpasang di depan rumah Syamsiar Dachi di Desa Hilisimaetano, Kecamatan Maniamolo, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara. Tertulis di papan itu keterangan bahwa bangunan itu merupakan rumah adat yang juga merangkap sebagai Lembaga Adat Desa.
“Rumah ini usianya 150 tahunan,” kata Syamsiar Dachi kepada Tempo, belum lama ini. Rumah model panggung itu di dalamnya berisi benda-benda bersejarah. Terdapat baju perang di gantung di langit-langit rumah. Pakaian khas Nias lainnya juga tersedia di rumah ini. Warna merah umumnya menandakan pakaian bangsawan, kuning masyarakat biasa, dan hitam untuk prajurit perang. Wisatawan pun dapat mencoba mengenakan pakaian-pakaian itu untuk dipotret sebagai kenang-kenangan.
Aneka senjata baik untuk berburu maupun berperang juga dipajang di sini. Tombak, pedang, perisai semua terpajang rapi di rumah yang penampakannya seperti museum ini. Syamsiar juga memajang potret-potret para leluhur yang sudah menempati rumah itu secara turun temurun.
Rumah ini diakui Syamsiar juga digunakan untuk homestay. Dia menerima tamu perempuan dan selalu senang karena rumahnya menjadi ramai. Dengan senang hati Syamsiar akan menceritakan kisah-kisah menarik di balik benda-benda koleksinya itu.
Syamsiar Dachi, perempuan Nias DOK FIFIA - TEMPO
Seperti sebuah patung kecil dengan posisi duduk. Dahulu patung itu dipasang di dinding. Setiap ada tamu atau pertemuan, orang-orang menyembah patung itu terlebih dahulu. “Tetapi ketika agama Kristen masuk, patung itu dicopot karena tidak boleh menyembah patung lagi,” kata Syamsiar.
Suku Nias sebelumnya memang menganut Agama Suku yang dalam kepercayaannya menyembah patung dan berhala. Mereka pun disebut sebagai Suku Penyembah Patung atau Manömba Adu.
Selain patung kecil, patung harimao juga terpajang di rumah Syamsiar. Patung harimao biasanya digunakan saat pementasan seni dan budaya. Harimao mitosnya memiliki bentuk perpaduan antara harimau dan anjing laut.
Dikatakan Kepala Desa Hilisimaetano, Formil Dakhi, dulu atraksi Famadaya Harimao merupakan seni pertunjukan yang berfungsi sebagai sarana upacara adat istiadat dan ritual keagamaan dalam kehidupan masyarakat Maniamolo. “Biasanya mereka mengadakan pertunjukan ini dengan niat mengusir bala,” ujar dia.
Foto leluhur di Nias Selatan DOK FIFIA - TEMPO
Dulu, kata dia, dalam pertunjukan ini sarat mistis karena diikuti dengan ragam ritual, sementara saat ini murni seni pertunjukan saja. “Waktu kami kecil setiap diadakan pertunjukan itu semua ternak mati, padahal saat itu tak ada unsur mistis,” kata Formil.
Pertunjukan Famadaya Harimao sempat dilarang ketika misi penginjilan mulai masuk ke desa ini di tahun 1912 hingga 1970. Mereka melarang setiap warga lokal untuk mengikuti upacara adat tertentu karena dianggap mengandung berhala.
Pertunjukan Famadaya Harimao kini diperbolehkan kembali. Sejak tahun 1970 dijadikan atraksi setiap 17 tahun sekali. Namun, hanya sekadar menampilkan atraksi pertunjukan seni. Tak boleh ada unsur mistis atau pun aksi menyembah berhala. “Famadaya Harimao menjadi salah satu pertunjukan di Maniamolo Fest 2024, festival yang digelar di Desa Hilisimaetano untuk kali ketiga yang pada tahun ini dilaksanakan 14 – 16 Juni 2024.”
Maniamolo Fest 2024 merupakan side events dari Kejuaraan World Surf League (WSL) Nias Pro 2024 Kualifikasi Seri 5.000 di Pantai Sorake, Kecamatan Luahagundre Maniamolo, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara, yang berlangsung 8 – 15 Juni 2024.
Selain Famadaya Harimao, Maniamolo Fest 2024 akan menghadirkan atraksi budaya, di antaranya Tari Perang, Festival Hombo Batu, Fondrukhu Omo, Lomba Maena dan Tari Kreasi, Kompetisi Foto Digital, Pameran Kerajinan, Lomba Paduan Suara, Festival Busana Tradisional Nias, serta kuliner dan UMKM.
“Saya harap dukungan dari semua media bisa mendorong desa ini menjadi lebih maju dan mandiri," kata Formil. Dua tahun yang lalu, lanjut dia, Desa Hilisimaetano ditetapkan sebagai Desa Wisata. “Kami pernah mendapatkan Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) dua tahun lalu. “Melalui festival ini kami berharap ada dukungan kembali dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta pembinaan dari Astra.”
lompat batu merupakan khas dari Nias Selatan membuat daya tarik tersendiri bagi wisatawn DOK FIFIA-TEMPO
Desa Hilisimaetano merupakan desa wisata yang memiliki beragam sumber daya alam dan budaya sebagai objek daya tarik wisata. Selain potensi wisata alam yang indah, desa ini menghadirkan seni budaya Nias. Selain ragam pertunjukan seni yang ditampilkan warga, tradisi lompat batu atau hombo batu menjadi daya tarik tersendiri bagi siapa pun yang menyaksikannya. Pertunjukan lompat batu merupakan tradisi yang dapat ditemui di Nias Selatan.
Menurut Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Hilisimaetano, Noverianto Waoma, pertunjukan hombo batu dapat dilakukan kapan saja di Desa Hilisimaetano. Wisatawan dikenakan Rp150 ribu untuk sekali loncatan. Di desa ini, lanjut dia, terdapat sekitar enam homestay dengan harga kisaran Rp150 ribu per malam. Tersedia juga oleh-oleh seperti souvenir dan makanan ringan seperti keripik pisang ataupun ubi. “Pengunjung Nias Pro dapat menikmati suasana kampung, berinteraksi dengan masyarakat di sini.”
Desa Hilisimaetano memang memiliki banyak daya tarik. Di desa ini juga tersedia batu megalitik. Rumah-rumah yang memiliki batu itu menunjukkan kebangsawanannya. Tak sembarang rumah memiliki batu-batu megalitik itu.
Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata dan Kepemudaan Olahraga Nias Selatan Anggreani Dachi mengatakan, akan terus menata desa ini menjadi lebih baik lagi hingga mendapatkan status cagar budaya. “Masih banyak yang harus dibenahi,” ujar dia.
Dia pun berharap, kemeriahan WSL Nias Pro 2024 dapat bergeser ke Maniamolo Fest. “Tentunya akan menunjang jumlah kunjungan ke desa wisata,” katanya. Kedua event yang diselenggarakan di Nias Selatan ini diharapkan menghasilkan perputaran ekonomi, khususnya di Kota Teluk Dalam dan sekitarnya meningkat. (*)