Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Reformasi 1998: Salim Said Sebut Amerika Serikat Sudah Tau Sehari Sebelum Soeharto Lengser

image-gnews
Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjabat. wikipedia.org
Soeharto mundur dari jabatannya sebagai Presiden Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah 32 tahun menjabat. wikipedia.org
Iklan

TEMPO.CO, Jakarta - Runtuhnya Orde Baru ditandai lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 menjadi awal baru bagi era Reformasi. Rezim yang berkuasa selama lebih dari tiga dekade itu ambruk setelah mendapat berbagai tekanan dari berbagai pihak.

Catatan kisah ambruknya Orde Baru ini menjadi salah satu warisan yang ditinggalkan mendiang Salim Said, Tokoh Pers dan Perfilman Nasional serta mantan Duta Besar RI untuk Republik Ceko. Dia meninggal dunia setelah sempat dirawat di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Sabtu 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB.

Cerita lengsernya Soeharto itu dituangkan Salim Said dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi: Rangkaian Kesaksian (2013). Salim Said mengungkapkan, jatuhnya Soeharto sudah ia prediksi sejak tewasnya empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam Peristiwa 12 Mei 1998.

Kisah itu mirip seperti kala jelang lengsernya Sukarno. Sukarno, Presiden Pertama RI itu juga lengser setelah adanya insiden penembakan yang menewaskan seorang mahasiswa, Arief Rahman Hakim, dalam sebuah unjuk rasa pada 1966. Saat menerima kabar kematian empat mahasiswa Universitas Trisakti, Salim Said tak ragu berujar:

“Kita sedang berada pada hari-hari terakhir rezim Orde Baru," seperti dikutip dari bukunya tersebut.

Benar saja, tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti menyulut peristiwa yang lebih besar. Kericuhan terjadi di berbagai tempat. Peristiwa yang kemudian disebut Kerusuhan Mei 1998 itu berubah jadi anarkis rasial. Situasi panas akibat krisis moneter membuat perusuh menyasar etnis Tionghoa yang disebut jadi penyebab paceklik ekonomi.

Lalu muncullah sentimen anti-Tionghoa yang diwujudkan dalam bentuk penjarahan, pembakaran toko dan rumah, serta pelecehan seksual. Kejadian terjadi di berbagai kota antara 13-15 Mei. Bahkan ratusan orang tewas dalam Jakarta membara, 14 Mei. Peristiwa ini masuk dalam deretan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM Berat yang belum rampung hingga detik ini. 

Saat kejadian berlangsung, Soeharto berada di Kairo, Mesir. Setelah pulang dari Mesir pun ia tak kuasa berbuat banyak. Desakan mundur santer dari berbagai pihak. Salim Said menyatakan, kala itu orang-orang tak yakin kekuasaan Soeharto masih dapat bertahan. Meski begitu, sang Jenderal Tersenyum itu masih enggan untuk lengser, menunggu hingga Pemilu 2002.

"Presiden Soeharto berada di Kairo tatkala huru-hara itu terjadi. Bahkan, sebelum Presiden mendarat di pangkalan udara Halim Perdanakusuma menjelang subuh 15 Mei, tidak seorang pun di antara kami yang masih yakin rezim Orde Baru akan bertahan," tulis eks wartawan senior Tempo itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kejatuhan Orde Baru kian nyata setelah demonstrasi demi demonstrasi dilakukan oleh mahasiswa dan berbagai elemen masyarakat. Puncaknya pada 18 Mei kala mereka berhasil menguasai Gedung DPR/MPR. Pengunjuk rasa, di bawah koordinasi Amien Rais, bahkan berencana menggeruduk Monumen Nasional (Monas) bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei.

Agenda itu gagal digelar setelah Amien Rais ditelepon oleh petinggi TNI untuk membatalkan rencana. Agenda dikawatirkan menyulut tragedi yang lebih luas. Menurut Salim Said, aparat keamanan mempunyai alasan kuat mencegah pengumpulan massa di Monas. Massa dikhawatirkan akan merangsek ke mana-mana. Padahal, di sekitar Monas terletak sejumlah gedung vital.

Untuk mencegah berkumpulnya massa, militer memasang barikade di semua jalan menuju lapangan Monas. Tank, panser, berbagai kendaraan militer lainnya dikerahkan, juga barikade kawat berduri dan sejumlah besar prajurit siap tempur. Amien Rais memang membatalkan rencana pengumpulan massa. Tapi, tentara tak ingin mengambil risiko, dan Monas tetap ditutup dari segala penjuru.

Dalam keadaan tertutup itu, Salim Said mengaku mendapat telepon dari staf Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono untuk hadir pada 20 Mei, pukul 19.00 dalam rapat di Gedung Urip Sumohardjo di Kompleks Departemen Pertahanan dan Keamanan di Jalan Merdeka Barat. Dalam rapat tersebut ternyata dibahas kemungkinan mundurnya Soeharto dan siapa penggantinya.

Salim Said tak tahu bahwa Soeharto akan mundur lebih cepat pada 21 Mei. Dia justru memperoleh kabar itu dari rekannya di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, Prof. William Liddle dari Columbus, Ohio. Said mendapat sambungan telepon internasional sebelum subuh jatuh. Telepon itu jelas mengganggu tidur Salim Said, tapi di Amerika Serikat bagian timur memang baru pukul 4 sore.

“Salim, apakah Soeharto betul mundur? Di sini sudah tersiar berita Pak Harto pagi ini akan mengundurkan diri," tulis Salim Said menuturkan ulang percakapan Liddle.

Pertanyaan sekaligus informasi itu mendorong Salim Said menggali kabar soal Soeharto lengser dari Susilo Bambang Yudhoyono lewat jalur telepon. “Betul, Mas, Pak Harto mundur pagi ini,” kata Jenderal yang lebih dikenal sebagai SBY itu. Beberapa jam kemudian di Istana Kepresidenan, seperti sudah diketahui, Soeharto mengumumkan mundur dari jabatan yang didudukinya selama hampir 32 tahun.

Pilihan Editor: Peristiwa Reformasi Mei 1998 dari Kaca Mata Mendiang Salim Said

Iklan

Berita Selanjutnya



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan

Yayasan Pendidikan Amien Rais Siapkan Kampus AI Pertama di Yogyakarta, Punya Tiga Prodi

1 hari lalu

Mantan Ketua MPR RI Amien Rais melalui Yayasan Budi Mulia tengah menyiapkan politeknik yang berkonsentrasi pada kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) di Yogyakarta. Dok.istimewa
Yayasan Pendidikan Amien Rais Siapkan Kampus AI Pertama di Yogyakarta, Punya Tiga Prodi

Kampus Politeknik AI di Sleman, Yogyakarta, itu ditargetkan mulai beroperasi pertengahan 2025 dengan tiga program studi.


39 Tahun Monumen Jogja Kembali, Apa Saja Koleksi Museum Bentuk Tumpeng Ini?

3 hari lalu

Monumen Jogja Kembali atau Monjali di Sleman Yogyakarta. Tempo/Pribadi Wicaksono
39 Tahun Monumen Jogja Kembali, Apa Saja Koleksi Museum Bentuk Tumpeng Ini?

Monumen Jogja Kembali telah berusia 39 tahun. Apa saja koleksinya sebagai museum dan destinasi sejarah di Yogyakarta?


Kisah Raja Batik HM Lukminto Pendiri Sritex, dari Pasar Klewer Bikin Pabrik Tekstil

4 hari lalu

Perintis pabrik textil Sritex, Lukminto. Tempo/Andry Prasetyo.
Kisah Raja Batik HM Lukminto Pendiri Sritex, dari Pasar Klewer Bikin Pabrik Tekstil

Kisah HM Lukminto merintis perusahaan tekstil Sritex cukup menarik. bagaimana ia membangun industri tekstil dimulai dari Pasar Klewer, Solo.


Partai Move Forward: Masih Ada Sisa-Sisa Rezim Militer di Thailand

5 hari lalu

Tokoh Move Forward Party dari Thailand saat mengunjungi Kantor TEMPO Media Grup di Jalan Pal Merah, Jakarta, Kamis 27 Juni 2024. TEMPO/Subekti.
Partai Move Forward: Masih Ada Sisa-Sisa Rezim Militer di Thailand

Juru bicara Partai Gerakan Maju (MFP) berkomentar tentang kondisi demokrasi di Thailand. Ia berpendapat masih ada sisa-sisa rezim militer di negara tersebut.


Setelah dari Kampus ke Kampus, Film Penculikan Aktivis 98 'Yang (Tak Pernah) Hilang' Diputar di 3 Bioskop

6 hari lalu

Petrus Bima Anugerah alias Bimo Petrus ( memakai topi) saat mengunjungi kos-kosan aktivis SMID di Jalan Jojoran Surabaya pertengahan 1997.  Foto: dok Ikohi
Setelah dari Kampus ke Kampus, Film Penculikan Aktivis 98 'Yang (Tak Pernah) Hilang' Diputar di 3 Bioskop

Film 'Yang (Tak Pernah) Hilang' menceritakan perjalanan hidup Herman Hendrawan dan Petrus Bima Anugerah yang hilang sejak prahara reformasi 1998.


Mengenang BJ Habibie: Perjalanan Politik Presiden RI ke-3 dan Demokrasi Indonesia

7 hari lalu

BJ Habibie. TEMPO/Aditia Noviansyan
Mengenang BJ Habibie: Perjalanan Politik Presiden RI ke-3 dan Demokrasi Indonesia

BJ Habibie, dengan visinya dalam bidang teknologi dan kontribusinya dalam dunia politik, diingat sebagai salah satu tokoh dalam demokrasi Indonesia.


Pernah Dijuluki 'Manajer Rp 1 Miliar', Inilah Kilas Balik Perjalanan Karier Mendiang Tanri Abeng

9 hari lalu

Tanri Abeng di kediamanya, Simprug Golf 12/A3, Jakarta Selatan, 2014. dok. Dasril Roszandi
Pernah Dijuluki 'Manajer Rp 1 Miliar', Inilah Kilas Balik Perjalanan Karier Mendiang Tanri Abeng

Pada akhir 1996, Tanri Abeng dijuluki sebagai Manajer Rp 1 Miliar karena mendapat bayaran sebesar itu saat memimpin perusahaan milik Aburizal Bakrie.


Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng Meninggal Dunia, Menjabat di Era Soeharto dan Habibie

10 hari lalu

Tanri Abeng di kediamanya, Simprug Golf 12/A3, Jakarta Selatan, 2014. dok. Dasril Roszandi
Mantan Menteri BUMN Tanri Abeng Meninggal Dunia, Menjabat di Era Soeharto dan Habibie

Tanri Abeng pernah menjabat sebagai Menteri Negara Pendayagunaan BUMN di Kabinet Pembangunan VII dan Kabinet Reformasi Pembangunan.


Kilas Balik Perlawanan Tempo di Pengadilan Usai Diberedel Orde Baru 30 Tahun Silam

12 hari lalu

Goenawan Mohamad dikerumuni wartawan di depan gedung Mahkamah Agung setelah sidang gugatan TEMPO pada Juni 1996. Setelah lengsernya Soeharto pada 1998, majalah Tempo kembali terbit hingga hari ini, bahkan, saat ini Tempo sudah menginjak usianya ke-50. Dok. TEMPO/Rully Kesuma
Kilas Balik Perlawanan Tempo di Pengadilan Usai Diberedel Orde Baru 30 Tahun Silam

Tepat 30 tahun lalu atau pada 21 Juni 1994, majalah Tempo bersama tabloid Detik dan majalah Editorial diberedel oleh pemerintah Orde Baru. Kilas balik perlawanan Tempo di pengadilan


Perlawanan Insan Pers Buntut Pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik oleh Orde Baru 30 Tahun Lalu

12 hari lalu

Karyawan TEMPO saat mengadukan kasus pembredelan ke DPR tahun 1994. Dok. TEMPO/Gatot Sriwidodo
Perlawanan Insan Pers Buntut Pembredelan Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik oleh Orde Baru 30 Tahun Lalu

Hari ini, tepat 30 tahun silam, Majalah Tempo, Editor, dan Tabloid Detik dibredel pemerintah Orde Baru pada 21 Juni 1994. Ini kilas baliknya.