Usman melanjutkan, Jokowi sebagai kepala negara juga jelas telah melanggar konstitusi dengan ikut campur dalam pemilu yang diikuti anaknya.
"Jokowi melanggar konstitusi baik sebelum, saat, dan setelah pemilu," kata dia.
Jokowi, kata Usman, melanggar karena membiarkan penggelontoran bantuan sosial atau bansos sebelum pemilu digelar secara membabi buta sebagai upaya menjaga elektoral putranya.
Padahal hakikatnya, bansos ini hanya bisa diberikan kepada mereka yang masuk kategori miskin, usia lanjut, dan yang benar membutuhkan.
Namun pada realitasnya bansos disebar tak pandang bulu dengan motif politik partisan dari pemerintah melalui pimpinan pimpinan partai politik yang berkoalisi mengusung sang anak.
Selanjutnya, Usman mengatakan klaim Jokowi bahwa Pemilu 2024 sudah berjalan jujur dan adil hanyalah omong kosong.
"Pemilu 2024 tak bisa dinyatakan adil karena diwarnai politik nepotisme," kata dia.
Nepotisme yang kental antara Jokowi dan anaknya Gibran dalam pemilu 2024 ini, ujar Usman, sayangnya tak dimasukkan para hakim MK saat mengadili dan membuat putusan sengketa Pilpres 2024.
"Para hakim MK justru menyatakan tidak ada alasan hukum kuat untuk mempersoalkan nepotisme itu," ujarnya.
Padahal, jika para hakim MK membaca referensi soal nepotisme sangat memungkinkan menyoal soal itu. Seperti dari kamus Britanica, nepotisme merupakan istilah populer yang muncul sejak abad 14-15. Yang berasal dari bahasa latin Nepos yang artinya keponakan atau dalam bahasa Itali, Nepote yang artinya grandson atau cucu. Nepotisme kala itu dimunculkan ketika kepala gereja Katolik di Roma mengangkat keponakan dan cucunya sebagai kardinal atau pejabat gereja wilayah.
"Pertanyaannya, kalau dalam Pemilu 2024 ini disebut tak ada nepotisme, berarti tidak ada keponakan yang mendapat keuntungan politik," ujar Usman.
Di era modern Indonesia, ujar Usman, kasus nepotisme terjadi mulai era Presiden Soeharto. Di mana semua anaknya menguasai BUMN.
"Dalam putusan MK (yang menolak gugatan sengketa Pilpres) juga telah menegasikan surat sahabat peradilan atau Amicus Curae yang jumlahnya mencapai 50 lebih," kata mantan Koordinator KontraS itu.
Dengan semua permainan atas prinsip demokrasi itu, elemen aksi di Yogya menyatakan demokrasi Indonesia saat ini dalam kondisi sekarat. "Maka yang perlu kita lakukan hanya menguatkan oposisi rakyat untuk melawan," kata dia.
Koordinator Koalisi Pegiat HAM Yogyakarta Tri Wahyu dalam aksi itu menyatakan putusan MK yang memenangkan Prabowo-Gibran bukan saja bermakna kemenangan telak bagi Prabowo-Gibran dan politik dinasti Jokowi.
"Lebih jauh, ini semakin menegaskan tanda-tanda kematian masa depan demokrasi kita," kata dia.
Ia menyebut pemerintahan Jokowi sudah melakukan kejahatan besar dalam Pemilu ini.
"Produk hukum diubah seenak jidatnya untuk memuluskan anaknya menjadi pejabat, alokasi bansos dipakai untuk kampanye, hingga pengkondisian jajaran pejabat untuk membantu kemenangan dinasti kekuasaannya," kata dia.
PRIBADI WICAKSONO