TEMPO.CO, Yogyakarta - Sejumlah aktivis perempuan, termasuk dosen dan mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, menggelar aksi Kampus Menggugat dalam peringatan Hari Kartini di Balairung UGM Yogyakarta, Ahad, 21 April 2024. Dalam acara bertajuk Kartini Bangkit: Mengawal Putusan MK untuk Demokrasi Indonesia itu hadir sejumlah aktivis juga guru besar perempuan UGM.
Di antara mereka adalah Wiendu Nuryanti, Okky Madasari, Endang Semiarti, Sri Wiyanti Eddyono, hingga Wuri Handayani. Ada juga Suci Lestari Yuana, Nur Azizah dan perwakilan mahasiswa, Antonella.
Novelis yang juga alumnus Fisipol UGM Okky Madasari dalam orasinya bertajuk Kartini dan Konstitusi menyatakan Kartini tidak seharusnya diperlakukan sebagai mitos. "Demikian juga dengan Demokrasi Indonesia," ujar Okky.
Dia menyatakan demokrasi Indonesia bukan sebuah hadiah, bukan pula warisan, melainkan benih yang terus dirawat dan dijaga agar terus tumbuh dan berbuah. "Atas kesadaran itu, di awal reformasi, Mahkamah Konstitusi dibentuk," kata Okky.
Dia mengatakan MK adalah anak kandung Reformasi, yang dilahirkan dengan harapan bisa menjaga negara agar tetap berpijak pada konstitusi dan mengawal demokrasi. Melalui MK, kata Okky, rakyat bisa mengadukan ketidakadilan yang disahkan oleh pertaruran perundang-undangan.
"Besok (Senin 22 April) kita akan sama-sama melihat apakah Mahkamah Konstitusi akan teguh menjalankan tugasnya sebagai penjaga konstitusi dan mewujudkan sebenar-benarnya demokrasi di negeri ini," kata dia.
Adapun Guru Besar Fakultas Hukum UGM Sri Wiyanti Eddyono dalam peringatan 145 tahun Hari Kartini itu menyoroti kondisi perempuan Indonesia yang tak bisa dilepaskan dari perspektif hukum, baik aspek penegakan hukum sampai dengan paradigma hukum yang cenderung maskulin dan meminggirkan kelompok yang rentan dan lemah.
"Sementara dari aspek penegakan hukum, kondisi penegakan hukum di Indonesia sedang tidak baik-baik saja dan kondisi buruk ini telah berjalan puluhan tahun," kata dia.
Era reformasi saat ini, kata Sri, nyatanya masih belum mampu meretas tuntas problematika penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah dan memperkuat posisi pihak yang memiliki posisi, cenderung tebang pilih, dan menjadi cara untuk mengambil keuntungan bagi mereka yang berkuasa.
Menurutnya, apa yang terjadi dalam perdebatan pemilu 2024 menjadi contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokrasi seperti DPR. Seperti dalam pengesahan bantuan sosial atau bansos yang digulirkan secara massif selama Pemilu 2024.
"Pengesahan pengguliran bansos selama Pemilu ini contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan, karena dana bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated," kata dia.
Adapun pengajar Fisipol UGM Suci Lestari Yuana mengungkap tentang pentingnya upaya resistensi melalui jalur institusional. "Ini adalah panggilan kepada oposisi untuk bersatu dan melakukan perlawanan terhadap penurunan demokrasi," kata Suci.
Sebagai akademisi, Suci melanjutkan, memiliki tanggung jawab untuk menjadi bagian dari gerakan ini. "Mahkamah Konstitusi juga memiliki peran yang sangat penting dalam menyelamatkan demokrasi" kata dia.
MK akan menggelar sidang putusan sengketa Pilpres 2024 pada Senin besok. Gugatan ini diajukan kubu pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud.
Pilihan Editor: Pilkada disebut Permainan Pencitraan, Pengamat: Perlu Dorong Popularitas Kandidat