"Perubahan penyebutan istilah KKB menjadi OPM, menurut hemat saya, memiliki dampak politis. Misalnya, istilah OPM di luar negeri itu kurang menguntungkan karena dapat menimbulkan simpati dari beberapa negara terhadap perjuangan minoritas yang sedang dilakukan oleh oknum bersenjata tersebut," kata Hasanuddin kepada Tempo pada Ahad, 14 April 2024.
Anggota Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu menyebut, selama ini, penyebutan KKB atau KST tidak sesuai dengan realitas. Sebab tindakan yang dilakukan kelompok ini bukan hanya kriminal dan teror, tetapi justru makar dan melakukan gerakan separatis terhadap NKRI.
Dia mengkritik perubahan istilah seharusnya bukan hanya ditentukan oleh Panglima TNI, tetapi harus mendapat kesepakatan dari semua lembaga negara yang terlibat dalam penanganan konflik di Papua.
Pada era Soeharto, mereka disebut OPM, kemudian pada era reformasi mereka menjadi KKB dan terakhir dilabeli teroris. Menurut Hasanuddin, semua perubahan ini diatur dengan keputusan pemerintah dan bukan hanya ditentukan oleh Panglima TNI sendiri.
3. KontraS: Bisa Berdampak pada Keamanan Masyarakat Sipil di Papua
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS mendesak pemerintah memitigasi dampak dari perubahan istilah KKB di Papua menjadi OPM. Menurut KontraS, perubahan istilah ini bisa berdampak pada keamanan masyarakat sipil di Papua.
Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya Saputra, mengatakan perubahan nama itu harus diikuti dengan jaminan perlindungan dari negara bagi masyarakat di Papua.
"Terutama untuk menjaga supaya tidak ada korban yang kembali berjatuhan," ucap Dimas saat dihubungi Tempo pada Jumat, 12 April 2024.
Dimas menjelaskan, ketika suatu negara menyebut suatu kelompok sebagai tentara pemberontak, ada kewajiban mematuhi sejumlah aturan dalam hukum internasional.
Pertama, negara harus mengumumkan mengenai kondisi konflik bersenjata yang terjadi di Papua. Negara harus memberikan sinyal kepada warga sipil dan organisasi internasional untuk dapat melakukan pengawasan terhadap berlangsungnya konflik tersebut.
Kedua, hukum internasional juga mengatur senjata atau alat yang digunakan dalam konflik bersenjata. Penggunaan senjata yang tidak manusiawi dan berpotensi besar mengakibatkan dampak yang besar, tidak boleh dipakai.