TEMPO.CO, Jakarta - Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Timur (Kaltim) menolak perampasan tanah dan pembongkaran paksa rumah warga demi obsesi Ibu Kota Negara atau IKN. Penolakan ini mereka jabarkan melalui lima tuntutan yang ditujukan untuk pemerintah.
Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil Kaltim Mareta Sari menyatakan tuntutan itu menolak upaya penggusuran paksa masyarakat lokal dan adat dari tanahnya, apapun bentuk dalih atau alasannya.
Kedua, masyarakat adat dan lokal merupakan bagian dari kelompok rentan yang seharusnya dilindungi negara.
"Bukan harus mengalami pembongkaran paksa dan penggusuran atas nama IKN," ujar Mareta dalam rilisnya, Rabu, 13 Maret 2024.
Ketiga, dia mengatakan dokumen tata ruang yang dibentuk tanpa partisipasi masyarakat lokal dan adat sehingga dinilai murni cacat hukum.
Sementara tuntutan keempat, ia menolak pembangunan IKN yang menggusur hak-hak masyarakat lokal dan adat.
Tuntutan kelima, koalisi mengimbau kepada seluruh rakyat untuk membangun solidaritas bersama, agar keputusan penguasa yang menindas dan tidak memihak rakyat bisa dilawan.
Ancaman penggusuran
Sebelumnya, ancaman penggusuran di IKN disebut Mareta mulai terjadi pada Senin, 4 Maret 2024 dengan adanya surat dari Deputi Bidang Pengendalian Pembangunan Otorita IKN atau OIKN dengan nomor 179/DPP/OIKN/III/2024, mengenai undangan arahan atas Pelanggaran Pembangunan yang tidak berizin dan tidak sesuai tata ruang IKN.
Selain surat undangan arahan soal pelanggaran pembangunan yang tidak berizin serta tak sesuai tata ruang IKN, Deputi OIKN juga mengeluarkan surat teguran pertama dengan nomor surat 019/ST I-Trantib- DPP/OIKN/III/2024.
Surat itu berisi pembongkaran bangunan warga karena tidak sesuai ketentuan tata ruang IKN dan peraturan perundang-undangan. Warga hanya diberi waktu selama 7 hari.
“Ancaman OIKN secara tiba-tiba hendak mengusir warga Pemaluan dengan dalih pembangunan ibukota, jelas adalah bentuk tindakan abusive pemerintah,” ujar Mareta.
Menurut mereka, tindakan penggusuran ini memperlihatkan wajah asli kekuasaan yang gemar menggusur dan mengambil alih tanah rakyat atas nama bangunan.
“Mengingatkan kita dengan rezim otoritarian orde baru yang represif dan menghalalkan segala cara,” jelasnya.
Selanjutnya: Tanggapan Otorita IKN