TEMPO.CO, Jakarta - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi atau Perludem menyoroti Komisi Pemilihan Umum alias KPU yang memperbolehkan rekapitulasi suara di daerah meski tenggat waktu sudah lewat.
"Tentu ini menggambarkan kalau KPU gagal memitigasi risiko soal potensi-potensi permasalahan di tahap rekapitulasi manual berjenjang," kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, kepada Tempo, Jumat, 8 Maret 2024.
Baca juga:
Dia menuturkan, pada Pemilu 2019 juga ada masalah dalam proses rekap. Tapi, bisa diselesaikan sesuai dengan jadwal. "Dampaknya, tentu ada potensi terlambatnya waktu penetapan perolehan suara sah secara nasional yang diatur di dalam UU Pemilu maksimal 35 hari," ucap Ninis, sapaan akrabnya.
Jika penetapan perolehan suara di tingkat nasional itu mundur, kata dia, ini merupakan pelanggaran terhadap Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum alias UU Pemilu.
Selain itu, Ninis melanjutkan, ada kekhawatiran potensi kecurangan di daerah justru membesar dengan diperpanjangnya rekapitulasi oleh KPU. "Publik jadi bisa mempertanyakan apa yang terjadi sehingga prosesnya bisa lewat tenggat waktu."
Peneliti Perludem lainnya, Heroik M. Pratama, mengatakan KPU perlu menjelaskan kondisi force majeur yang dimaksud sehingga rekapitulasi suara di daerah mundur.
"Publik harus dijelaskan gitu molornya karena apa," ujar Heroik saat ditemui Tempo di Bogor, Jawa Barat pada Jumat. "Agar tidak ada spekulasi atau asumsi."
Tapi, kata dia, poin pentingnya adalah agar proses rekap di tingkat nasional tidak melebihi jadwal. Yaitu, 35 hari setelah Pemilu berlangsung.
Sebelumnya, KPU telah mengeluarkan surat bernomor 454/PL.01.8-SD/05/2024 pada 4 Maret 2024. Berdasarkan dokumen yang diterima Tempo, surat edaran ini ditujukan kepada Ketua KPU Provinsi/KIP Aceh dan Ketua KPU/KIP Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
"Dalam hal pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara pada tingkat kecamatan, kabupaten dan/atau provinsi tidak dapat terlaksana pada rentang waktu yang ditentukan karena terjadi force majeur atau situasi di luar perencanaan dan kendali penyelenggara, maka PPK, KPU/KIP Kabupaten/Kota dan/atau KPU Provinsi/KIP Aceh melakukan penyesuaian jadwal dan tetap melanjutkan pelaksanaan rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara," tulis salah satu poin dalam surat tersebut.
Ketua Divisi Teknis KPU RI Idham Holik telah mengonfirmasi surat edaran itu. Dia beralasan, KPU memiliki pertimbangan tertentu untuk menerbitukan surat edaran itu.
"Betul, KPU telah menerbitkan surat tersebut karena pertimbangan kondisi force majeur—situasi yang tidak bisa dihentikan—karena suara pemilih harus selesai direkapitulasi dan ditetapkan oleh para rekapilator," kata Idham saat dihubungi Tempo pada Jumat.
Dia menjelaskan, force majeur ini berkenaan dengan sering terlambatnya pelaksanaan rekapitulasi yang dilakukan panitia pemilihan kecamatan atau PPK. Sebab, ada banyak interupsi-interupsi maupun pencermatan data.
Selain itu, kata dia, pada prinsipnya rekapitulasi harus diselesaikan. Sehingga suara pemilih yang telah diberikan di tempat pemungutan suara atau TPS itu harus direkapitulasi dan ditetapkan oleh KPU kabupaten/kota, KPU provinsi, dan KPU RI.
Dengan begitu, ujar Idham, KPU harus memastikan proses rekapitulasi yang sering terkendala di tingkat kecamatan dapat selesai. Sebab, penyelesaian rekapitulasi di tingkat kecamatan akan berpengaruh terhadap ketepatan waktu rekapitulasi dan penetapan hasil di tingkat nasional.
"Itu lah hal yang harus dipastikan oleh KPU, karena rekapitulasi menurut undang-undang harus dilakukan secara berjenjang," ucap Idham.
AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Mahfud Md Bertemu Ganjar dan Megawati, Bahas Strategi Usut Kecurangan Pemilu