“Bukan untuk menilai atau membahas proses atau hasil pemilu dengan segala implikasinya,” kata Fahri seperti dikutip Koran Tempo edisi Jumat, 23 Februari 2024.
Fahri berpendapat rencana penggunaan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan pemilu jauh dari prinsip konstitusi. Ia menyebut Undang-Undang Dasar 1945 sudah mengatur penyelesaian sengketa pemilu melalui MK, bukan lewat hak angket.
“Jalan ke MK itu mestinya digunakan. Jika angket yang mau dipaksakan, tentu sangat destruktif terhadap sistem ketatanegaraan,” kata Fachri.
3. Pakar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, Yusril Ihza Mahendra
Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia Yusril Ihza Mahendra mengatakan penyelesaian atas ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemilu dan hasilnya, khususnya soal pemilihan presiden, hendaknya diselesaikan di MK, bukan menggunakan hak angket DPR.
"Apakah hak angket dapat digunakan untuk menyelidiki dugaan kecurangan dalam pemilu, dalam hal ini pilpres, oleh pihak yang kalah? Pada hemat saya tidak karena UUD NRI 1945 telah memberikan pengaturan khusus terhadap perselisihan hasil pemilu yang harus diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi," ujar Yusril dalam keterangan tertulis pada Kamis, 22 Februari 2024.
Menurut Yusril, Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 dengan jelas menyatakan salah satu kewenangan MK adalah mengadili perselisihan hasil pemilihan umum, dalam hal ini pemilu presiden pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final dan mengikat.
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran dalam menghadapi sengketa Pilpres 2024 di MK itu menerangkan putusan MK dalam mengadili sengketa pilpres akan menciptakan kepastian hukum, sementara penggunaan hak angket DPR akan membawa negara ini ke dalam ketidakpastian.
"Penggunaan angket dapat membuat perselisihan hasil pilpres berlarut-larut tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Hasil angket pun hanya berbentuk rekomendasi atau paling jauh adalah pernyataan pendapat DPR," kata Yusril.