TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Indonesian Parliamentary Center Ahmad Hanafi mendorong partai-partai politik yang lolos parlemen dalam Pemilu 2024 untuk mempertimbangkan penguatan peran dan fungsi oposisi sebagai penyeimbang. Dalam lima tahun terakhir parlemen dinilai mengalami penurunan peran dalam menjaga demokratisasi kebijakan.
“Keinginan untuk menyatukan semua partai oleh sejumlah pihak hanya akan memperburuk demokrasi kita,” kata Hanafi dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta pada Jumat, 23 Februari 2024.
Berdasarkan real count sementara, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) masih unggul dalam Pileg DPR RI dengan 16,78 persen, disusul Partai Golkar dengan 15,13 persen dan Partai Gerindra dengan 13,42 persen. Dipantau dari situs KPU pada Jumat pagi, total data suara yang masuk 511.141 dari 823.236 TPS di Indonesia atau 62,09 persen.
Empat partai pendukung pemerintah seperti Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat melebihi ambang batas parlemen empat persen. PDIP yang disebut-sebut pecah kongsi dengan Presiden Joko Widodo belum menentukan sikap, namun sudah menyatakan siap jika menjadi oposisi.
Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Keadilan Sejahtera juga belum menentukan sikapnya secara resmi usai pemilihan presiden 2024. Partai yang tergabung dalam Koalisi Perubahan yang mendukung Calon Presiden Anies Baswedan, juga lolos parlemen berdasarkan hasil hitung langsung.
Dalam keterangan yang sama pada Jumat, Hanafi menyarankan supaya partai-partai politik yang lolos parliamentary threshold untuk tetap melihat dan mempetimbangkan suara konstituen dalam upaya membangun koalisi politik. Oposisi, kata dia, dibutuhkan terutama bagi partai yang tidak memenangkan pasangan calon di pilpres, agar tidak terburu-buru untuk bergabung dengan koalisi partai pendukung pemerintah.
Hanafi menjelaskan terbentuknya koalisi partai politik pendukung pemerintah yang terlalu gemuk berdampak pada pengabaian suara dan aspirasi konstituen seperti penyusunan undang-undangan secara ugal-ugalan, absennya penggunaan hak pengawasan DPR, dan lemahnya penyerapan aspirasi dalam pelaksanaan fungsi penganggaran.
“Konstituen memilih partai dengan mempercayakan dan mempertaruhkan nasibnya kepada partai-partai yang menduduki parlemen,” kata Hanafi.
Selama lima tahun terakhir, periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi, peran oposisi hanya dimainkan oleh PKS dan Demokrat. Peta kubu partai politik kembali terpecah pada pilpres 2024.
PDIP membentuk kerja sama politik sendiri bersama Partai Persatuan Pembangunan, Partai Hanura, dan Perindo untuk mengusung Ganjar Pranowo sebagai Calon Wakil Presiden. Sementara Partai Nasdem yang masih berada di pemerintahan bergabung dengan PKS yang berada di luar pemerintahan.
DANIEL A. FAJRI
Pilihan Editor: Pengamat Prediksi Istana Gunakan Instrumen Kekuasaan untuk Bendung Hak Angket