TEMPO.CO, Jakarta - Film dokumenter Dirty Vote telah menyita perhatian publik menjelang pelaksanaan Pemilu 2024. Film ini dirilis pada Minggu, 11 Februari 2024, tepat pada masa tenang pemilu. Film yang diproduksi oleh WatchDoc ini memberikan analisis mendalam tentang dugaan kecurangan dalam Pemilu secara sistematis.
Film ini disebut telah melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Tak hanya itu, film ini juga tiga pakar hukum tata negara yakni Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari dalam mengungkap dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024. Film ini juga menuai pro dan kontra dalam masyarakat lantaran tudingan kampanye hitam.
Pada Selasa, 13 Februari 2024, Dewan Pimpinan Pusat Forum Komunikasi Santri Indonesia (DPP Foksi) resmi melaporkan Dandhy Laksono selaku sutradara dan tiga pakar hukum tata negara yang menjadi pemeran dalam film dokumenter Dirty Vote.
"Kami sedang usaha laporkan. Kemarin kami telah laporkan hanya saja kekurangan berkas. Hari ini kami melengkapi berkas," kata Ketua Umum Foksi, M. Natsir Sahib, dalam pesan tertulisnya kepada Tempo.
Natsir menilai film Dirty Vote yang membahas kecurangan Pemilu 2024 telah merugikan salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang ikut berkontestasi. Dia menduga ada pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh keempat orang itu, terlebih film itu dirilis pada masa tenang menjelang hari pencoblosan.
"Di masa tenang memunculkan film tentang kecurangan Pemilu yang bertujuan membuat kegaduhan dan menyudutkan salah satu capres, itu bertentangan dengan UU Pemilu," ujarnya.
Tanggapan Ketua BEM UGM
Menurut Nugroho Prasetyo Aditama, Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa atau Ketua BEM UGM 2024, rilisnya film Dirty Vote di masa tenang justru menjadi momentum pencerdasan masyarakat. “Kalau sebelumnya kan masyarakat masih disibukan dengan gelaran-gelaran kampanye di mana-mana. Nah, kalau sekarang bisa jadi bentuk pencerdasan,” katanya kepada Tempo.co, pada Selasa, 13 Februari 2024.
Menanggapi laporan yang dilayangkan kepada sutradara dan 3 pakar hukum pemeran dalam Dirty Vote, Nugroho menyebutkan soal kebebasan berpendapat. “Mari kita lihat yang menuntut itu siapa dan terafiliasi dengan yang mana? Itu bisa jadi pertimbangan kita melihat kebebasan berpendapat,” ujar mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu
Model-model pelaporan seperti ini, menurut Nugroho, menampilkan watak seseorang yang sedang menutupi sesuatu. Dari situ, katanya, masyarakat bisa menilai jika orang-orang seperti itu yang akan memimpin Indonesia maka ruang-ruang suara dan pendapat akan semakin tertutup. “Kalau sekarang mungkin masih secara formal dilaporkan, tapi kita tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya jika ini tetap dipertahankan,” kata dia.
Ia menambahkan mengenai kekhawatirannya terhadap kondisi demokrasi di Indonesia ke depannya. Bagi Nugroho, ini adalah titik-titik penyakit yang pada akhirnya akan menyebar jika tidak diobati. “Mungkin sekarang baru merambah ke dosen. Aku khawatir 5-10 tahun ke depan kita berada di mana tidak bisa menyampaikan pendapat,” kata Nugroho.
MICHELLE GABRIELA | SAVERO ARISTA WIENANTO
Pilihan Editor: 3 Pakar Hukum dan Sutradara Dirty Vote Dilaporkan ke Polisi